Tiga Teman yang Baru Diketahui Ternyata Tidak Sekeren Usianya yang Sudah Menginjak 30+
Pagi ini, 6 Januari 2020, gue bangun kesiangan. Baru bangun jam tujuh lantaran handphone mati padahal udah setting alarm jam lima. Begitu bangun, ngopi sebentar, lalu langsung ke NF untuk ngambil beberapa barang yang mesti dikeringkan paska banjir. Jadi ceritanya, barang-barang yang basah, gue bawa pulang ke rumah. Gue keringinnya di rumah. Setelah ngambil beberapa barang, gue lanjut nyuci kursi yang juga ikut terendam.
Kurang lebih jam 9 selesai, lalu gue mandi dan sarapan. Sembari menikmati tiap suapan, gue ngecek WA dan menemukan chat dari Nonik, kawan SMA, yang menasehati terkait chat gue yang dirasa berlebihan di Group SMA.
Luar biasa. Gue seneng banget, ada teman yang berani dan bisa ngasih tau langsung seperti ini. Mungkin bagi orang lain ini hal sepele, tapi bagi gue tidak, karena taun 2019 kemarin, gue menemukan tiga kawan yang ternyata tidak segagah Nonik dalam hal mengambil sikap terhadap ketidaksukaan.
Loh, memangnya kita harus gagah? Lagi pula gagah itu yang seperti apa?
Gue juga kesulitan untuk menjelaskannya sih. Hanya saja, gue selalu berekspektasi tinggi terhadap teman-teman terdekat. Gue merasa bahwa teman-teman gue harusnya tidak seperti kebanyakan netizen. Atau setidaknya, gue merasa bahwa teman gue sehebat citra yang mereka tampilkan sendiri.
Bingung ya? Ah..
KISAH 1
Kisah teman yang pertama, dia laki-laki yang mencitrakan diri sebagai sosok maskulin, jago berdebat sebab berlatar belakang pendidikan hukum, setia kawan, dan berpikiran positif. Pokoknya iya banget di sosmed dan tampilan di depan orang-orang.
Dari mana gue berkesimpulan seperti itu? Ya tentu saja dari dari tindak tanduk dan ucapan dia yang gue tangkap. Dia kerap mengucapkan kalimat-kalimat motivasi di sosmed, kerap mengkritik kebijakan politik, dia menyapa semua teman dengan ramah, dan yang paling penting lagi, belakangan ini di tiap perdebatan dia sering membawa-bawa background pendidikannya yang anak hukum. Hal inilah yang menciptakan ekspektasi tersendiri terhadap dia.
Suatu ketika, teman gue ini tergabung dalam sebuah kepanitian reuni SD-SMP. Yang mana di situ dia bertugas di bagian pencari dana. Dia membuat jaket untuk dijual dalam rangka mencari dana, lalu menawarkannya ke gue. Tapi gue gak membeli.
Pertanyaannya, apakah gue harus membeli? Apakah gue salah dengan tidak membeli? Apakah dengan tidak membeli, itu artinya gue tidak setia kawan?
Tolong bantu dijawab.
Karena teman gue satu ini merasa gue tidak setia kawan dan dianggap tidak mau membantu dia, hanya karena gue gak membeli jaket buatannya.
Jaket yang dia jual harganya Rp250ribu, Bro. Mahal. Dan menurut gue, jaketnya gak bisa dipake dibanyak situasi. Jadi bingung, ntar dipakenya kapan aja. Selain itu, dia menjual jaketnya hanya hitungan pekan sebelum acara reuni dimulai. Telat banget. Gak bisa nabung dulu. Uang gue pas-pasan. Memangnya dia pikir semua orang sudah pasti punya uang apa?
Hal yang dia tidak ketahui adalah gue juga nyumbang untuk acara reuni, dengan cara yang berbeda. Gue nyumbang dekorasi yang nilainya jauh lebih besar dari harga jual 1 jaket. Gue memang ga bantu dia secara langsung dengan membeli jaket, tapi gue membantu pendanaan reuni dengan cara gue.
Yang lebih mengjengkelkannya lagi, teman gue ini menyindir teman gue yang lain, yaitu Happy dan Iwan, juga karena tidak membeli jaket. Gue tahu betul, kalau si Happy alasannya saat itu karena lagi tidak punya uang. Sementara si Iwan bahkan menyumbang bernilai belasan juta dalam bentuk sponsorship produk kantor tempat dia bekerja.
Gue tidak menyangka, teman gue berpikir sedangkal itu, tapi ya sudahlah. Gue sama sekali tidak mengambil hati. Bahkan ketika dia memposting status Facebook mendaku-daku diri sukses dalam bekerja sebagai panitia pencari dana, gue merisak dia dengan perasaan becanda. Pure becanda walaupun kami berbalas komentar yang menggunakan diksi sindir dan saling merendahkan. Sesaat setelah perdebatan di sosmed, gue masih tlp dia sambil ketawa ngakak, jadi gue gak berpikir dia sakit hati gue komenin negatif di sosmed.
Gue merasa teman gue ini pasti terbiasa berdebat karena ya anak hukum. Dan dia juga sering mengkritik kebijakan pemerintah di sosial media, tentu itu artinya dia pasti tahu bahwa kritik adalah hal lumrah. Yang gue heran, sampai dengan pernikahan Kapten hari Sabtu kemarin, teman gue ini masih terlihat dendam. Gak mau nyapa gue, gak mau lihat mata, dingin, ya pokoknya kelihatan banget seperti orang canggung atau ngambek -_-. Aneh banget. Haha
Kalau bukan karena soal kritikan di sosmed dan soal jaket, gue menduga ada hal lain yang menjadi penyebab teman gue ini jengkel dan dingin ke gue, yaitu karena dia merasa bahwa gara-gara perempuan, gue sampai tidak membela dia. Lagi-lagi soal definisi tidak setia kawan.
Jadi, di kepanitiaan reuni, ada satu perempuan yang saat itu sedang gue dekati. Sekarang sih udah jadi pacar. Nah, perempuan ini juga dekat dengan teman gue. Bahkan mereka lebih dulu akrab. Mereka berdua akrab. Saking akrabnya, si temen gue yang anak hukum ini pernah menginap di rumah si perempuan (waktu belum jadi pacar gue), pernah nitip beliin ini itu, chatting becanda juga. Ya tampak seperti akrab.
Suatu ketika temen gue ini pernah ngomong ke gue, “Masa gara-gara perempuan, lau rela makan teman”
Lah gue bingung, hal apa yang membuat gue terlihat gara-gara perempuan sampai makan teman? Gara-gara jaket? Yakali. Gue beli atau gak beli, ga ada hubungannya sama perempuan. Duit juga duit gue, yang nanti bakal make itu jaket juga gue, gimana ceritanya ada hubungannya dengan perempuan.
Dan kemudian keakraban dia dengan si perempuan dan ke gue seakan perlahan sirna paska reuni terlaksana. Si teman gue ini seperti menjauh, puncaknya ketika bertemu di resepsi pernikahan Bagas, temen gue ini gak nyapa si perempuan yang tidak lain adalah temen dia juga dan pacar gue. Lucuya, di pernikahan Bagas, temen gue ini mengenakan batik yang belinya nitip ke si perempuan -_-
Padahal awalnya, pas gue masih pedekate, temen gue ini masih bisa becanda ke gue. Tapi sekarang? Beuh
Oh ya, apa indikasi yang membuat gue berpendapat bahwa dia menjauh?
Pertama, ketika pacar gue ulang tahun, temen gue ini gak ngucapin padahal dia melihat IG Story. Sebelumnya gak perlu ulang tahun pun, dia suka chat becanda-becanda ke si perempua ini. Hal remeh temeh tapi menjadi aneh ketika dilakukan oleh sosok yang mencitrakan dirinya friendly dan bahkan pernah menginap plus nitip nitip dan becanda-becanda.
Lucunya lagi, ketika di resepsi pernikahan Bagas (2019) dan Kapten (2020), teman gue ini tidak menghampiri si perempuan. Sok-sok ga ngeliat aja. HAHAHAHA. Ini anak cemburu, sakit hati, juall mahal atau apa sih. Beda banget pencitraan dia di sosmed yang kayaknya riang dan macho. Ternyata diam-diam fragile banget.
Yang bikin jadi lucu lagi, dalam rentang waktu reuni (September 2018), yang gue anggap sebagai sumber perkara, sampai dengan pernikahan Kapten kemarin (Januari 2020) — *Udah 2 tahunnn, Bookk*–, teman gue ini sempat sekali ngechat si perempuan (pacar gue), yaitu ketika dia menemukan foto gue zaman SMP.
Liat aja tuh chatnya, dia japri dan terlihat bersemangat banget, sampe nyuruh zoom in segala. Kayaknya biar pacar gue ngeliat postur dan tampang gue yang kurus dan dekil. Walaupun sekarang juga gak ganteng sih. Haha.
Sayangnya, sebelum dia ngirim ke pacar gue, gue udah ngirim duluan ke pacar. Jadinya gak begitu ada efek meriahnya.
Anehnya, giliran bertemu di dunia nyata (pernihakan Bagas dan Kapten), plus momen ulang tahun, teman gue ini berasa kaya bukan orang deket? Ga mungkin ga ngeliat. Atau berasa pejabat banget, maunya disamper duluan? Udah kok, gue selalu nyamper duluan. Nyapa duluan.
Kok bisa ya, beda jauh antara citra, sosial media, dan kehidupan nyata?
Gue pikir, kalau karena soal reuni, ya udalah lah ya, reuni udah lewat jauh. Kalau soal perempuan, ga ada hubunganya sama sekali. Lagian dia juga punya istri. Dan kalau soal setia kawan, siapa sih temen yang ga gue bantu?
Gue bantu gak pake gembar-gembor, makanya gak pada tau. Dan gak pake banding-bandingin ke orang lain juga, apalagi trus menjadikan bantuan diri sendiri sebagai tolok ukur bagi orang lain. Bahwa ga semua orang bisa gue bantu, iya betul. Kemampuan gue masih terbatas. Tapi bukan berarti ga mau bantu.
Ngomonglah langsung sini ke gue dan ke si perempuan, ga mungkin gak ada apa-apa. Kayak Nonik itu lho.
Demikian cerita pertama dari sosok teman yang kelakukannya tidak sedewasa usianya dan tidak sehebat pencitraannya.
Gue berasa banget dia antara emang sok dingin, entah karena beneran jengkel dan ngambek atau sok-sok marah, tapi ya udahlah. Tiap ketemu, gue selalu yang menghampiri dan ngajak tos duluan walaupun tanggapannya dingin. Selebihnya, bodo amat. Gue ga ada niat jahat, dan gak membenci hanya karena satu dua tiga kejadian. Gak berpura-pura di sosmed dan dunia nyata.
Masa anak hukum nganggep kritik sebagai hal personal? Masa acara udah lewat setahun, jengkelnya masih dibawa sampai detik ini? Masa karena gak beli jaket trus dianggap gak setia kawan dan lebih memilih perempuan? 100% ga masuk akal.
Nonik jauh lebih hebat dalam hal ini.
KISAH 2
Kisah yang kedua, dari seorang teman perempuan. Gue sampai merasa perlu mencatatnya di blog, karena Desember 2019 kemarin, gue entah kenapa tiba-tiba kepikiran pingin liat timeline Twitter dia, lalu mendapatkan dia ngetwit kurang lebih isinya begini:
“Aku sempet sakit hati gara-gara dia ngeblok sosmed, sampai sempat berharap semoga dia merasakan hal yang sama. Merasakan betapa tidak enaknya sosmed diblok. Eh tidak lama setelah aku berpikir seperti itu, tokonya dia kemalingan.”
“aku jadi takut merasa dendam atau marah terhadap seseorang”
HAHAHAHAHAHHAHAA ANJER. Dia merasa sekeren itu, broooo. Dia merasa semesta sebegitu sohibnya sama dia, sampai-sampai toko gue dibuat kemalingan hanya gara-gara gue membuat dia sakit hati, yang mana penyebabnya adalah ngeblok sosmed.
Astagaaaaa.
Gue sampai bingung mesti cerita dari mana. Yang pasti, hubungan kami baik-baik aja sampai ketika gue mengetahui bahwa teman gue ini sering membicarakan gue ‘no mention’ di sosmed. Semua hal yang gue lakukan dan utarakan selalu dia komentari. Seakan-akan dia tau banget hidup gue. Dan gue gak nyaman. Bahkan ada, gue lagi bales-balesan twit sama orang lain, eh dia ngomentari obrolan gue. Anjir gak penting banget.
Yang bikin jadi lebih gak penting adalah gue sama temen gue ini lumaya sering chat dan bertemu. Kan aneh ya, gue ngobrol sama dia, ketemu dia, lalu dia komenin di sosmed. Lebih tepatnya, dia judge. Risih tauk. Masa orang dewasa ga menyadari itu.
Karena sebel, ya udah, gue blok aja sosmednya, biar dia gak bisa ngomentari tindak tanduk gue di sosmed dan gue gak ngebaca celotehan dia juga. Tapi apakah di kehidupan nyata, gue membenci dia? Sama sekali enggaak. Bahkan gue ga canggung, dan tetep becanda. Gak kaya temen gue yang anak hukum. Hehe
Gue bisa membedakan antara sifat dan manusia sebagai sosok utuh. Gue mungkin jengkel terhadap satu dua tiga sifat temen gue atau siapa pun, tapi itu sama sekali tidak membuat gue menutup diri atau bahkan antipati terhadap seseorang.
Gue tetep bisa ngobrol, becanda, menyapa, jalan bareng, bahkan berbisnis, dengan orang yang sebelumnya gue kritik atau membuat gue jengkel, atau dengan orang yang sebelumnya terang-terangan ngomong gak suka sama gue. Itulah sebabnya sampai detik ini gue masih bisa temenan dan ramah sama mantan, hahahihi sama orang yang sebel sama gue.
Setiap orang punya kelemahan, tapi tidak menjadikan manusia itu menjadi sosok yang layak dijauhi.
Nah, dalam hal ini, gue sebel banget dikomentari segala aktivitas gue, makanya gue blok sosmed. Tapi toh ketika ada acara reuni di puncak, gue tetep ngajak dia berangkat bareng. Di perjalanan dan di acara reuni sampai dengan pulang, gue masih becanda biasa biasa aja sama dia. Ehhh, sepulangnya dari reuni, dia malah ngechat gue dengan tendensi ingin bilang bahwa di acara reuni tersebut gue terlihat menyukai salah seorang teman.
Ini apa sihh. Udah usia segini pake acara comblang-comblangan segala. Ya sebetulnya itu maksudnya baik, tapi berhubung sebelumnya banyak ngomentarin kehidupan gue di sosmed, gue jadi risih sendiri.
Puncaknya ketika ada pernikahan teman di daerah Jakarta Barat. Kami karaokean rame-rame dengan teman SMA. Nah itu pulangnya, gue masih ngajak pulang bareng naik Gocar. Di perjalanan pun masih ngobrol biasa. Eh sesampainya di rumah, entah kenapa insting gue menggiring untuk ngeliat sosmed dia.
Dan akhirnya menemukan twitnya dia bilang, kurang lebih begini:
“Pas di karaokean kemarin, aku ngeliat matanya dia seperti kesepian di tengan keramaian”
Anjirrrrrrrr. Geli banget kannn. Haha. Siapa yang gak males di-judge begitu? Wajar kan ya gue ngeblok sosmed? Gue gak bisa melarang orang lain berbicara, gak bisa menutup mulut orang lain. Tapi gue bisa menutup kuping gue, mata gue, atau bahkan menutupi seluruh tubuh gue.
Tapi, sekali lagi, gue sama sekali gak benci sama orangnya. Kalau ketemu ya tetep aja santai. Pas di nikahan Kapten pun gue yang nyapa pertama, dan dia yang terlihat canggung, seperti temen gue yang anak hukum.
Gak yang laki, gak yang perempuan, di usia 30+, masih aja kekanak-kanakan.
Oh ya, ada satu akun temen gue ini yang ga gue blok, karena gue pikir ya udahlah ya. Terserah dia. Tapi ya itu, gue malah menemukan di Desember 2019 dia berpikir gue kemalingan gara-gara ngeblok dia. Zzz. Jadi pingin ta blok kabehh.
Masa dia ga nyadar, dia yang mulai dulan dengan bikin orang lain ga nyaman dengan segala asumsi asumsi ngaco dia. Padahal kalau ngetwit isinya positif-positif. Tapi dibarengin keangkuhan dan ngomongin orang lain dari sisi negatif.
KISAH 3
Kisah yang ketiga ini, menurut gue, gak se-wah dua sebelumnya. Ini paling sederhana, tapi tetap menggelitik.
Suatu hari salah seorang guru SMA sakit dan membutuhkan dana. Teman gue ini membuka tawaran donasi di group WA.
Nah, gue melihat kok sepi tanggapan ya di chat WA. Bener-bener sepi, ga ada yang nyaut di group WA. Makanya gue timpali lah dengan kalimat
Setelah gue timpali dengan chat tersebut, teman-teman yang berinisiatif menggerakan donasi mulai rutin meng-update nominal dana yang terkumpul dari waktu ke waktu, yang tersirat ingin mengatakan bahwa walaupun chat di group WA tidak ramai, tetapi uluran dana tetap mengalir.
Ini keren lho.. Bahwa menyumbang tidak perlu gembar gembor.
Tapi di balik itu semua sepertinya teman gue ini, laki-laki 30 tahun, sakit hati atau entah apa namanya, dengan pernyataan “burem” yang gue sampaikan. Ketika pengumpulan dana telah ditutup, dan uang telah diserahkan ke Guru yang sakit, teman gue ini menyindir gue di group chat.
Tebakan gue, dia menyindir hape gue burem sebab dia gak menemukan nama gue di daftar orang yang menyumbang. HAHAHAHAHAHAHAHA
Lihat itu gaya chatnya, pakai emoticon segala, persis seperti pacar perempuan yang sedang ngambek. Ada ya laki laki 30 tahun ngechat model gitu -_-
Kekanak-kanakan banget. Payah.
Tapi ya sampai detik ini gue juga biasa aja sih. Kalau ketemu tetep akan nyapa duluan, karena ya gue tahu banget, temen gue ini emang sensitif. Kalau kata salah seorang teman perempuan, temen gue yang ini memang lebih sensitif dari perempuan. Gue pun mengamini. Wong cuma main game aja marah-marah terus. Sepertinya getir banget hidupnya.
——-
Huah, pegel. Udah panjang juga ternyata. Gue males baca ulang dan ngedit. Jadi kalau ada typo atau kalimat yang gak nyambung, coba disambung-sambungin aja ya. Gue yakin kok, pasti ada yang baca ini, dan, ya, tersentil.
Sudah 2020. Malu sama pencitraan di sosmed yang begitu keren, begitu dewasa, begitu mulia, begitu positif, tapi masa sampai membuat diri merasa sempurna. Seakan tidak ada salah dan celah. Seakan orang lain bila tidak sejalan dan sependapat artinya jahat, artinya tidak setia kawan, artinya tidak menyumbang. Haduh. Jangan sedangkal itu.
Kita udah 30 tahun, gak ada gunanya ngambek, benci, diem-dieman atau apalah itu. Lebih-lebih bila pencitraannya kayaknya positif banget. Masa sosmednya fake sih?
Kaya Nonik itu lho, berani ngomong langsung. Gak lewat nyindir di group WA, gak lewat sosmed.
Kaya gue gitu lho (HALAH PRET), ngomel di suatu momen, tidak dibawa ke momen berikutnya. Gak cuma ngocehnya di sosmed dan di belakang, pas ketemu diem aja. Masa bisanya ngomong ndakik ndakik di sosmed, kritik ini itu, giliran dikritik temen langsung baper. Langsung ngiranya ga setia kawan.
Lagi pula, namanya jualan, gak laku ya sudah. Punya ide, ga diterima ya sudah. Ga semua hal yang kita lakukan harus disambut baik orang lain. Ini hidup.
Gue jualan juga jarang temen yang beli. Dan gue ga lantas nganggep temen-temen gak setia kawan.
Tapi ya terserah, deng.
I love you!
*Image cover gue ambil dari https://aussiechildcarenetwork.com.au/activities/rhymes-and-songs/will-you-be-a-friend-of-mine