Stella Maris – Pluit, Gereja Jangkung di Tepi Laut Jakarta
Dalam Bahasa Arab: Maryam, nama dari Ibunda Yesus yang mengandung tanpa noda. Orang Indonesia biasa menyapanya dengan Bunda Maria, dan tentu masih ada banyak lagi nama panggilan lainnya menyesuaikan bahasa setempat. Siti Maryam, Dewi Maria, María, Marie, Mother Marry, dan lain sebagainya.
Selain memiliki panggilan yang berbeda-beda, Bunda Maria juga memiliki banyak gelar. Tentu gelar ini disematkan oleh umat Katolik, yang memang menempatkan Bunda Maria pada posisi yang spesial. Salah satu gelar yang paling sering kita dengar, bahkan mungkin oleh orang-orang yang non-Katolik, adalah Virgin Marry, atau dalam Bahasa Indonesia: Perawan yang Terberkati. Biasa juga disebut sebagai Bunda Allah.
Tidak hanya yang sifatnya doktrinal (doktrin oleh Gereja), Bunda Maria juga memiliki gelar yang sifatnya geogragis, misalnya Bunda Maria dari Fatima, Bunda Lourdes, atau Bunda Karmel. Gelar semacam ini diberikan kepada Bunda Maria karena kehadirannya di tempat-tempat tertentu, atau bisa juga sebagai penghormatan daerah tertentu kepada Bunda Maria. Kalau di Yogya sana, diberi gelar juga ’Kitiran Kencana’, diambil dari nama sumur yang mata airnya ditemukan di bawah Patung Bunda Maria di Gereja St. Maria Assumpta, Paroki Pakem Yogyakarta.
Terdapat pula gelar-gelar yang diambil dari Kitab Suci, dalam kisah-kisah yang menubuatkan peran Bunda Maria dalam misteri keselamatan. Beberapa di antaranya berfokus pada kesucian dan peran keibuannya. Gelar-gelar ini sifatnya puitis atau alegori. Sebagai contoh, gelar “Pintu Surga” diberikan karena Bunda Maria dianggap sebagai sarana yang dipergunakan Allah untuk menghadirkan Yesus Kristus di dunia demi membebaskan kita dari dosa. Gelar-gelar bersifat puitis lainnya yang sering kita dengar adalah Takhta Kebijaksanaan (Sedes Sapientiae), Ratu Damai (Regina Pacis), dan salah satunya adalah Bintang Samudra (Stella Maris).
Bintang Samudra, yang dalam Bahasa Latin disebut Stella Maris, pertama kali digunakan pada abad 9, karena Bunda Maria dianggap sebagai pembimbing dan pelindung mereka yang bekerja atau berlayar di laut. Hal ini yang membuat banyak gereja-gereja di tepi laut atau dekat pantai, diberi nama Stella Maris atau Maria Sang Bintang Samudra.
***
Dua hari yang lalu, 17 Februari 2016, langit tampak tidak biasa-biasa saja. Hujan sangat deras melanda Bekasi, juga Jakarta, yang hari itu menjadi kota tujuan saya mengantar pesanan balon NF. Saya tiba di Apartemen Green Bay Pluit pukul setengah sebelas pagi (atau siang?), alias memakan waktu dua jam lebih. Sebetulnya jarak dari rumah saya, di Jatibening, ke Green Bay Pluit hanya lebih jauh 7 km saja dibandingkan jarak Jatibening ke Hotel Batiqa Jababeka (Cikarang) yang dapat saya tempuh dalam 30 menit di jam-jam orang pulang kerja. Jam-jam sibuk. Hujan, mau tidak mau — dan memang begitulah faktanya — saya jadikan kambing hitam penyebab saya gagal memenuhi janji kepada pelanggan bahwa jam 10 pagi balon NF sudah harus sampai di apartemennya.
“Mas, permisi, numpang tanya. Tau Gereja Stella Maris, gak? Saya mau ke situ, gimana caranya, ya?”
Batere ponsel saya sudah sekarat. Lebih baik menggunakan 15% yang tersisa untuk memfoto Gereja Stella Maris atau untuk membuka aplikasi maps ketika perjalanan pulang ke rumah nanti, ketimbang sekadar untuk memandu saya ke Gereja Stella Maris yang jaraknya tidak lebih dari 4 km dari apartemen Green Bay Pluit. Sebelum berangkat mengantar balon, saya sudah memastikan terlebih dahulu, ada gereja Katolik di dekat situ, dan rutenya pun mudah. Lurus-lurus saja. Sehingga ketika si Mas Sekuriti yang tanyakan tadi memberi petunjuk jalan menuju Gereja, saya sudah punya gambarannya.
Benar saja, tidak sampai setengah jam saya sudah sampai. Gerejanya berada tepat di pinggir jalan, sangat mudah ditemukan, walau saya agak sulit mengenali. Saya sempat ragu, apakah ini gereja atau bukan. Dari luar, terutama tempat saya parkir mobil, saya mengira ini gedung sekolah. Saya sampai bertanya dua kali ke bapak yang sedang merapikan tanaman dan petugas keamanan di situ untuk memastikan tidak salah alamat. Mereka berdua sangat ramah menyambut saya dan dengan senang hati menunjukkan letak pintu masuk gereja dan letak Gua Maria. Awalnya saya khawatir dikira mau macam-macam, namun sepertinya sudah ada sosialisasi dari pihak gereja kepada mereka bahwa akan ada orang-orang di luar umat Paroki Stella Maris yang kemungkinan datang untuk ziarah dalam rangka Tahun Suci Luar Biasa Kerahiman Allah.
Gereja ini jangkung, sepertinya tiga lantai. Lantai utamanya terletak di lantai dua, dan masih ada satu lantai lagi di atas lantai utama untuk tempat duduk tambahan bagi umat. Sedangkan lantai dasar digunakan sebagai tempat parkir mobil dan ruang serba guna. Untuk masuk ke dalam ke gereja, pilihannya ada tiga. Menggunakan tangga atau lift (menuju lantai 2) dari tempat parkir mobil yang berada di dalam gedung (karena ada parkiran yang di luar gedung), dan bisa juga dengan berjalan menanjak melewati lobi gereja. Dari pelataran lobi, kita bisa melihat jalan raya, namun sayangnya tidak bisa melihat laut. Haha. Saya pikir tadinya bisa.
Pluit terletak di Jakarta Utara, dan berbatasan langsung dengan Teluk Jakarta. Ketika perjalanan menuju Apartemen Green Bay, saya menyusuri tepian pantai dan melihat barisan kapal nelayan. Saya belum pernah ke sini. Ketika mendengar kata Pluit, yang terbesit di pikiran saya, kalau bukan alat tiup yang digunakan wasit dalam pertandingan olah raga, ya daerah pemukiman nelayan Muara Angke dan Waduk Pluit. Gereja Katolik Stella Maris sendiri hanya berjarak 1.3 km saja dari Pantai Mutiara, atau 15 menit dengan berjalan kaki.
Gereja Stella Maris berdiri pada tahun 2012, diresmikan oleh Bapak Uskup Ignasius Suharyo. Relatif masih baru. Dari sedikit gereja yang pernah saya kunjungi, mungkin ini salah satu yang paling saya sukai desainnya. Dari dalam bentuknya seperti kapal laut, kalau dari luar, saya melihatnya malah mirip Colosseum. Namun satu hal yang pasti, saya belum pernah naik kapal laut, apalagi ke Colosseum. Jadi tebakkan saya ini berdasar pada gambar-gambar yang saya lihat pada buku atau film. Salah satu yang saya suka dari Gereja ini adalah tempat sampahnya. Saya menilai sebuah tempat dari toilet dan tempat sampahnya.
Siang itu, yang tiba-tiba terik sekali, Gua Maria sedang sepi. Hanya ada saya dan satu petugas kebersihan. Di dalam gereja, hanya ada saya dan seorang ibu yang sedang mendaraskan rosario. Di ruangan lain, saya melihat ada beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak, beserta petugas keamanan, yang tampak sibuk menyiapkan suatu acara. Ada yang menyusun bangku, merapikan ruangan, dan beberapa lainnya asyik mengecek kualitas sound system.
Ziarah hari itu saya pungkasi dengan doa harapan, semoga segera ada pesanan balon lainnya sehingga bisa mampir-mampir ke gereja terdekat. Kalau ada yang mau ikut, boleh lho. Kalaupun tidak bisa ikut, kalian bisa membaca ziarah-ziarah saya selanjutnya di blog ini.
Deo Gratias.
*foto-foto lainnya