SPALLETTI PERIODE DUA, RADJA NAINGGOLAN, & BESOK PILKADA

Siapa pun yang menggemari sepakbola pasti tahu rasanya menggantungkan nasib ke orang lain.
Kita hanya bisa mendukung, bersorak dari bangku stadion atau berdoa di depan televisi.
Kita hanya bisa memberi saran melalui sosial media atau diskusi di warung kopi.
Kita hanya bisa saling ejek dan menghebat-hebatkan tim kesayangan kita sambil berharap para pemain termotivasi.
Hanya sebatas itu saja. Kita tidak akan pernah bisa turun langsung menolong tim dengan ikut bertanding atau masuk ke ruang ganti ketika jeda pertandingan untuk memberi saran ke pelatih.
Ya begitulah nasib penggemar sepakbola. Menggantungkan nasib ke pemain.

Siapa pun yang menggemari Inter pasti tahu persis rasanya frustasi mendukung tim yang performanya blangsatan.
Frustasi melihat tim kesayangannya tidak lagi berada di papan atas. Frustasi karena merasa tahu apa yang terbaik bagi Inter, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena hanya berstatus penggemar. Satu-satunya hal yang bisa dan wajib dilakukan penggemar hanyalah mendukung, mendukung, dan mendukung. Dan frustasi sekali rasanya ketika kita terus mendukung tapi tidak berujung prestasi.

Sejak trebel tahun 2010, lebih tepatnya sejak tidak dilatih Mourinho, Inter tidak niat bermain bola. Tidak hanya pemain di atas lapangan, manajemen tim juga tidak punya niat membangun tim yang tangguh. Mengangkat pelatih miskin pengalaman dan membeli pemain antah berantah adalah santapan Interisti paska treble. Siapa yang menyangka nama-nama seperti Leonardo, Gasperini, Stramaccioni diberi tanggung jawab mengambalikan kejayaan Inter Mourinho? Jonathan Biabiany, Houssine Kharja, Ishak Belfodil, dan masih banyak lagi nama-nama pemain yang membuat Interisti mengernyitkan dahi. Siapa pula mereka ini, kok bisa-bisanya diberi mandat tinggi mengisi posisi Eto’o, Sneijer, Milito?

Namun, walaupun prestasi terpuruk dan tidak ada tanda-tanda perbaikan dari manejemen dan pemain, para pendukung tak berkurang sedikit pun rasa cintanya. Selalu menggebu-gebu. Selalu berharap. Selalu merasa ada hari esok yang lebih baik, ya walaupun hasilnya begitu lagi-begitu lagi.
Bayangkan, terhitung sejak treble, Inter baru berhasil masuk Liga Champion lagi musim depan. Berarti sudah absen 6 tahun. Berarti selama itu pula, pendukung Inter banyak kecewa. Yang bikin mengecewakan sebetulnya bukan cuma soal prestasi, tapi juga kecewa karena melihat banyak  keputusan manejemen tim yang seakan tidak ingin membangun tim juara. Nama-nama pemain dan pelatih yang datang, jauh dari nama-nama besar. Padahal yang namanya penggemar, pasti ingin pemain bintang lima datang. Pemain yang mampu menggaransi prestasi.

Tahun lalu, banyak pendukung Inter ingin Diego Simeone atau Antonio Conte, eh malah Luciano Spalletti yang didatangkan. Pendukung ingin seorang playmaker berkualitas, eh yang didatangkan malah Borja Valero. Bayang-bayang kegagalan kembali muncul di depan mata. Di paruh musim ada kesempatan memperbaiki skuat. Harapan memiliki playmaker sekelas Weslesy Sneijder kembali menggema. Nama James Rodriguez dan Javier Pastore mumcul, eh yang datang malah Rafinha, pemain yang baru sembuh dari cidera panjang. Nada-nada pesimis semakin banyak bermunculan di sosial media.

Musim 2017-2018 akhirnya selesai, Inter mengalahkan Lazio di partai terakhir dan menggeser lawannya itu ke peringkat lima. Inter berhak mendapat 1 tempat ke liga champion musim depan. Kali ini Interisti yang salah. Tepatnya, dugaan mereka yang salah. Spalletti memberi bukti bahwa tim asuhannya mampu menduduki empat besar di klasemen akhir. Keberhasilan ini menumbuhkan kepercayaan pendukung Inter terhadap Spalletti, para pemain, dan manajemen tim, hal yang tidak ada selama tujuh tahun belakangan.

Menatap musim yang baru, Interisti di segala penjuru tampak lebih kalem. Mungkin bisa disebut lebih dewasa. Tentu masih sering adu arguemen, siapa yang lebih pantas bermain untuk Inter. Hal wajar. Akan tetapi kini pendukung Inter telah belajar untuk percaya dan mendukung sepenuhnya keputusan manajemen. Spalletti ingin Radja Nainggolan, mantan anak asuhnya ketika masih di AS Roma, pemain yang dia tahu persis kemampuannya, dan Interisti mendukung sepenuh hati, walaupun ada banyak keraguan karena gaya hidup Nainggolan yang tidak sejalan dengan profesinya sebagai atlet. Walaupun ragu, tapi tidak ada lagi caci maki.  Apapun yang menurut Spalletti cocok untuk skema tim, Interisti dukung. Spalletti memberi bukti, jadi sudah sewajarnya Interisti beri kepercayaan dan dukung sepenuh hati.

Nah, besok Indonesia menggelar pesta rakyat. Bukan pertandingan sepakbola, bukan olimpiade, bukan Asian Games, tapi pemilihan kepala daerah. Pilkada. Pesta democrazy.

Sebagaimana Spalletti, Presiden Jokowi juga telah memberi bukti di sana-sini. Semua pendukung Inter tahu bahwa Spalletti beberapa kali salah pilih strategi seperti saat melawan Juventus, begitu juga masyarakat Indonesia pasti tahu, belum semua yang dikerjakan Pak Jokowi sejalan dengan janji-janji. Tapi, tak bisa dipungkiri, ada banyak pencapaian-pencapaian positif yang tidak kita lihat di pendahulu-pendahulunya. Sebagaimana Inter, Indonesia memang belum juara, tapi sudah jauh lebih baik. Sudah lebih dari cukup bagi kita untuk memberi kesempatan lagi, dengan dukungan sepenuh hati.

Untuk musim depan, selain ingin Radja Nainggolan, Spalletti juga ingin satu gelandang bertahan dengan ketangguhan fisik, dan satu sayap kanan berkaki kidal. Oke Interisti dukung. Sementara itu Pak Jokowi ingin Indonesia semakin maju, dan butuh periode kedua untuk menyempurnakan kinerjanya, untuk itu dibutuhkan kepala daerah yang mampu dan mudah diajak kerjasama oleh pemerintah pusat. Oke, ayo kita dukung.

Oh ya, tapi pemerintah daerah yang manakah itu? Mudah saja, kita pilih kepala daerah yang didukung oleh partai koalisi pemerintah. Ya kita tahulah politik itu seperti apa. Akan lebih aman dan nyaman bila pemerintah daerah dan pemerintah pusat punya visi yang sama.

Untuk itu di Jawa Barat saya coblos Ridwan Kamil – Uu Ruzhanul Ulum, dan di Bekasi saya pilih Rahmat Effendi-Tri Adhianto. Mereka didukung oleh partai-partai yang saat ini berada dalam koalisi pemerintah.

Ya mau gimana lagi, saya cuma bisa mendukung dengan cara ini. Saya juga ingin membangun Indonesia, hanya saja untuk pilkada besok posisi saya hanya sebagai pendukung, bukan pemain inti ataupun peracik strategi.

Spalletti dua periode. Jokowi dua periode. Cocok.

Bila kalian tidak setuju, saya tidak peduli

Tulisan ini telah dikunjungi sebanyak 1 kali, 115 diantaranya adalah kunjungan hari ini.