Setelah Kopi Tandas, Aku Mengantarnya Pulang
“Ini adalah siang paling menyenangkan dalam hidupku.”
Aku berusaha tetap tenang, tidak ‘gede rasa’, dan fokus mengontrol tangan ini agar tidak refleks mengusap dahi. Konon katanya, mengusap dahi ketika bertatapan dengan orang lain, menandakan kegugupan. Aku tidak mau Vina menyadarinya. Lebih-lebih dia lulusan psikologi.
Lima dari tujuh perempuan yang pernah menjalin hubungan denganku adalah anak psikologi. Maksudnya, kalau tidak sarjana psikologi, ya berarti mahasiswinya. Entah kenapa. Dan, uniknya, mereka semua gemar menyambung-nyambungkan gerakan apapun yang aku lakukan sebagai sebuah pertanda. Pernah satu hari, karena lensa agak buram, aku berbicara sambil mengelap kacamata. Eh, aku malah dikira sedang memikirkan alasan kenapa malam sebelumnya tidak menelepon sebelum tidur. Huft. Walaupun aku tahu betul tidak ada mata kuliah suudzon di Fakultas Psikologi mana pun, namun entah kenapa mereka semua, perempuan yang dekat denganku, punya kebiasaan yang sama.
Seperti yang sudah-sudah, jika telah yakin pasti diterima, aku akan mengajak gebetan ke kedai kopi. Tujuh kali pacaran, semuanya jadian di kedai kopi. Seharusnya sepuluh, namun ada tiga perempuan yang melewatkan kesempatan emasnya. Dan Vina sepertinya akan menambah panjang daftar perempuan, lulusan psikologi, yang menerimaku sebagai pacar di kedai kopi. Rasa percaya diriku kian membesar karena Vina berulang kali mengatakan siang ini adalah siang terbaik sepanjang hidupnya. Dia tampak gembira.
“Kamu mau minum apa?”
“Kopi Bajawa, aja. Pakai susu bisa gak, ya?”
Aku langsung menghampiri Mas Helmi, barista Rumah Kopi Nusantara, dan menyampaikan pertanyaan dari Vina yang tak bisa kujawab itu. Dengan sigap Mas Helmi mengambil beberapa biji kopi, lalu ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah mesin yang tak kuketahui nama dan fungsinya. Sepertinya mesin penumbuk. Kopi Bajawa, plus susu, dan disajikan dengan menggunakan Vietnam Drip. Aku menjawab iya tanpa berpikir panjang ketika Mas Helmi merekomendasikan menu itu.
Daripada dikira percaya klenik, mending aku beralasan semua akses ke luar kota macet total. Dari menjelang Natal sampai Tahun Baru memang diperkirakan jalanan akan macet di sana-sini. Untungnya Vina menyukai keputusanku untuk jalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah saja.
“Sama aja, kan, kita juga keliling dari kota ke kota seperti liburannya teman-teman yang lain. Malahan kita bisa ke Yogya, Bali, juga Papua, hanya dalam hitungan jam. Gak boros waktu dan uang. Gak terjebak macet juga.”
Vina, gadis keturunan Tionghoa yang kukenal tiga bulan yang lalu saat menghadiri sebuah pameran lukisan di Jakarta, mengacungkan dua jempolnya. Aku tak yakin mendapat jawaban serupa bila kukatakan dengan jujur alasanku yang sebenarnya. Sejujurnya, ini adalah saran eyangku. Dia yang bilang, sebaiknya aku membawa setiap perempuan yang aku cinta ke kedai kopi. Cintaku tak akan ditolak di sana. Eyangku adalah dukun terkemuka di kampungnya.
Sebelum matahari terbenam, setelah untuk pertama kalinya Vina mencoba kereta gantung, naik perahu bebek, dan sepeda tandem, aku membawanya ke kedai kopi ini. Kedai kopi yang aku temukan berkat berjam-jam berkutat menelusuri mesin pencari, Google. Aku tak mau ada barista atau penjaga kedai kopi yang menganggapku seorang mata keranjang, karena membawa perempuan yang berbeda-beda ke kedai kopi mereka. Oleh karenanya aku selalu mencari kedai kopi yang baru. Dan dari hasil googling itu pula aku mengetahui bahwa Rumah Kopi Nusantara akan tutup kurang lebih pada pukul 6 sore.
Tidak seperti kedai kopi lainnya yang biasa buka sampai larut malam, Rumah Kopi Nusantara tutup lebih awal karena pengunjung Taman Mini biasanya perlahan pulang ketika hari mulai gelap. Bahkan, kata Mas Helmi, jam 5 sore saja Taman Mini sudah sepi. Rumah Kopi Nusantara bertempat di area Taman Mini Indonesia Indah, tepat di depan Istana Anak-Anak. Tempatnya luas, bersih, dan Indonesia banget. Aku tidak tahu seramai apa kedai kopi ini setiap harinya, tapi aku rasa, yang paling sering datang ke sini adalah orang-orang tua yang kelelahan menjaga anaknya bermain di Istana Anak-Anak. Rasa-rasanya hanya ada sedikit orang yang memang berniat datang ke sini untuk sekadar ngopi, pasalnya, untuk masuk ke Taman Mini saja kita sudah harus membayar tiket masuk per individu plus kendaraan. Besar uang yang dikeluarkan tidak jauh berbeda dengan harga kopinya. Tapi bagi para pengunjung Taman Mini, khususnya penikmat kopi, tentu Rumah Kopi Nusantara wajib hukumnya untuk disinggahi.
“Kurang lebih empat menit, kopinya sudah selesai menetes semua,” ujar Mas Helmi sambil meletakkan kopi pesanan kami di meja. “Kalau mau baca-baca, ini saya ada brosur tentang Rumah Kopi Nusantara. Kami bekerja sama dengan petani-petani lokal di Bandung. Namanya Kopi Malabar. Kopi andalannya yang Java Preanger itu,” lanjutnya sambil menunjuk ke arah toples kopi ukuran besar yang berjejer tidak jauh dari tempat saya duduk.
Salah satu letak pembeda antara kedai kopi semacam Starbucks, Coffee Bean, dll, dengan kedai kopi seperti Rumah Kopi Nusantara ini adalah tingkat kecerewetan baristanya. Cerewet dalam arti positif tentunya. Menyapa, mengucapkan selamat datang, bertanya hendak memesan apa, dan diakhiri terima kasih, sudah biasa kita temui di mana-mana. Namun tidak semua kedai kopi memiliki barista yang paham betul tentang sejarah kedai dan kopinya, serta dengan senang hati menjelaskan hal-hal yang bahkan, terkadang, tidak ditanya oleh pelanggan. Aku pun tidak akan tahu jika Mas Helmi tidak menjelaskan—tanpa aku tanya—bahwa biji kopi yang dia buat harus 12 gram beratnya agar rasa kopinya pas. Aku jadi kepikiran, kalau memesan kopi ukuran tall, grande, atau ventie di Starbucks, itu takarannya seperti apa, ya?
“Takaran.. takaran… Takaran apa? Cepat bangun, udah hampir jam 1 siang!” Ibu masuk ke kamar tanpa permisi. Aku mengigau. Kata Ibu, aku tidak keluar kamar sejak kemarin sore. Dia khawatir terjadi apa-apa denganku. “Kalau kamu pergi dengan pakaian rapi, tapi pas pulang wajahnya kusut, itu biasanya kamu habis ditolak perempuan. Dan kamu biasanya tidak akan keluar kamar sebelum mama bangunin.”
Ibu selalu menjadi orang yang paling sok tahu, tapi juga paling memahami aku. Aku tidak sependapat dengan ocehannya yang banyak menggunakan kata ‘biasanya’. Sebelumnya aku cuma ditolak tiga perempuan dari sepuluh percobaan. Artinya ini bukan hal yang biasa bagiku. Lagipula aku melihat masih ada secercah harapan dari Vina. Bulan depan, pacarnya yang sedang kuliah di Taiwan akan kembali ke Jakarta. Dia berjanji akan menyelesaikan semuanya ketika mereka bertemu nanti. Dan sembari menunggu semuanya jelas, Vina tetap memperbolehkan aku mengencaninya setiap akhir pekan.
“Sebenarnya aku sudah punya pacar. Maaf, ya, aku tidak beri tahu kamu dari awal. Aku takut kamu kecewa. Tapi, percayalah, ini siang paling menyenangkan dalam hidupku. Terima kasih, ya.”
Setelah kopi tandas, aku segera mengantarnya pulang.
*tulisan ini sebelumnya sudah ditayangkan di www.minumkopi.com. Dapat dibaca di sini