Sekian Ratus Hari Mencari Cinta
Setelah hari itu, salah besar jika aku tidak mencari cinta yang lain. Perkara nanti mendapat cinta yang lebih besar atau lebih kecil, lebih indah atau lebih pahit, lebih murah atau sama mahalnya, adalah hal lain. Yang pasti, hari demi hari, ada-ada saja cinta yang kukejar, ada-ada saja perempuan yang hilir-mudik, dan ada-ada saja yang patah tumbuh hilang berganti.
Cinta pertama yang kudekap setelah cinta kita kandas adalah cinta yang tak kudapat darimu. Terkecuali tampilan luarnya yang sama cantik dan semenarik dirimu, lainnya adalah hal-hal yang kucari selama lima tahun cinta kita namun tak kunjung tiba. Kebebasan, pengertian, kedewasaan, dan yang paling membedakannya darimu adalah restu orang tua.
Tak sampai delapan bulan, tepat di bulan ulang tahunmu, yang juga berarti bulan kita jadian, cinta itu kandas. Ternyata kebebasan, pengertian, kedewasaan, dan restu orang tua tidak berarti apa-apa tanpa kesetiaan. Jangan salah tanggap dulu, aku tidak selingkuh. Tentu kamu tahu, walaupun banyak yang bilang genit, aku bukan tipe laki-laki tukang selingkuh. Saat itu justru akulah yang menjadi selingkuhannya.
Tak perlu cerita lebih banyak karena aku yakin kamu mengikuti kisah ini. Sekali waktu aku mendapati akun Twittermu mengikuti gadis itu. Terlepas sengaja atau tidak – karena tak lama berselang, kamu tidak lagi menjadi pengikutnya – kamu bisa mencari tahu lebih banyak kisah cintaku yang ini via media sosial. Hubungan kami sempat memanas, satu dua makian tersimpan di sana.
Dua pekan setelah kami sepakat tidak lagi menyimpan rasa, aku bertemu cinta yang ke dua. Gadis keturunan Tionghoa, dengan usia nyaris kepala tiga. Dari awal kami menyadari bahwa perbedaan usia dan latar belakang keluarga bisa menjadi kendala utama. Namun begitulah cinta, keras kepalanya tiada akhir.
Awalnya hubungan kami biasa-biasa saja, sebatas hubungan kerja. Sebatang coklat dengan merek tak ternama, mengubah segalanya. Dalam hitungan pekan, kami rutin bertukar kabar, siang dan malam. Kemudian pesan singkat tak lagi cukup menampung, sehingga dering telepon menjadi hal biasa di hari-hari berikutnya. Bulan ke dua, kami sudah berani menyusun rencana jalan-jalan ke Goa Maria. Bulan ke tiga dan ke empat, beberapa Goa Maria telah kami singgahi. Bulan selanjutnya, entah bagaimana mulanya, hubungan kami jadi biasa-biasa saja. Tak ada pembicaraan apapun, tapi yang pasti, di bulan ke lima, kami berdua seakan memahami bahwa hubungan ini tak perlu dilanjutkan lagi. Pada momen-momen tertentu beberapa kali kami menegur sapa, tapi hanya sebatas itu karena dia sudah dekat dengan yang lain, sedangkan aku masih sendiri sampai saat ini.
Pada banyak kesempatan, aku selalu kebingungan jika ada yang bertanya, siapa saja yang sedang atau pernah aku cinta, setelah dulu aku selalu menyebut namamu. Aku menganggapnya dua nama, walau bisa saja aku sebut tiga, empat, atau bahkan lima. Aku sebut dua saja karena terlalu banyak wanita yang membuatku tak berselera begitu kami memulai kencan pertama.
Aku benci mengatakannya, tapi kamu memang telah menciptakan standarnya tersendiri. Cantik, menarik, enerjik, pintar, mandiri, dan lihai menempatkan diri. Aku terjerumus dalam kesombongan yang kamu ciptakan. Jangan harap aku mau meluangkan waktu untuk makan malam berdua dengan wanita yang tidak cantik dan menarik. Tidak sekalipun pernah. Yang menjengkelkan adalah tidak semua wanita cantik dan menarik itu pintar, mandiri, dan lihai menempatkan diri. Sekali waktu pernah aku serasa menelan dua butir panadol begitu kencan memasuki menit ke lima belas. Ngantuk. Membosankan sekali. Kisah yang dia bagikan padaku sama sekali tidak lucu dan hanya berisi kesombongan. Lima tahun plus pendekatan tiga bulan, selama kita bersama, tak pernah sekalipun aku sebosan itu. Apesnya lagi, hal seperti ini terjadi tidak hanya pada satu dua wanita.
Nanti ketika standarmu telah kudapatkan, ada masalah lain yang menghampiri. Dua hantu yang belum kuketahui bagaimana cara mengusirnya. Suku dan restu orang tua. Begitu tahu berbeda suku, begitu tau orang tuanya mencari yang satu suku, begitu tau latar belakang keluarganya, pertanyaan ini tak pernah aku lewatkan. “orang tuamu bagaimana? bermasalah ga?” Aku tak mau buang-buang waktu lagi.
Beberapa cinta memang harus dikejar sampai mati, beberapa lainnya bisa datang tanpa mengeluarkan usaha berarti. Khusus aku yang sudah mencoba cukup banyak cinta, hal-hal semacam ini sudah bukan mainannya lagi. Aku seperti sudah bisa mencium bau-bau cinta mana yang masih bisa aku masuki, dan cinta mana yang hanya membuang-buang waktu.
Tak peduli orang berkata aku tak sebegitu menariknya bagi wanita. Tak peduli orang berkata masih untung ada cinta yang mau padaku. Sungguh aku tak peduli. Aku tak lagi peduli karena aku tak lagi sudi berbagi waktu dan rindu pada wanita yang salah. Lebih baik aku menyimpan energi dan materi demi hal-hal yang lebih berarti.
Lebih baik kuhabiskan sekian ratus hari mencari cinta, ketimbang menghabiskan waktu beberapa hari saja dengan orang yang tak benar-benar kucinta.