Sehari Bersama Ori Melihat Jakarta
Bagi mereka yang tinggal di Jakarta, Bandung adalah kota yang seksi, begitu juga dengan Yogya yang, katanya, menyimpan sejuta keromantisan, dan masih banyak lagi tempat-tempat di Indonesia, selain Bali, yang begitu dielu-elukan oleh warga Jakarta. Sebaliknya, kalau bicara tentang Jakarta, isinya tidak jauh-jauh dari keluhan.
Keluhan yang paling sering muncul di layar kaca tentu saja Banjir dan macet, walaupun sebenarnya Jakarta punya ragam keluhan lainnya. Misalnya saja, persaingan hidup yang keras, atau maraknya tindak kriminal di tempat-tempat umum, khususnya alat transportasi. Tapi, bagiku, yang paling menjengkelkan dari Jakarta adalah sulitnya mengatur waktu ketemuan dengan teman-teman. Di Jakarta itu, kita tidak bisa ketemuan dan ngobrol seenaknya tanpa perencanaan yang matang. Semuanya harus pasti, karena jika tidak, maka kita hanya membuang-buang waktu saja.
Bayangkan saja, untuk ketemuan dengan teman, kita harus rela macet berjam-jam, baik saat pergi maupun pulang. Melelahkan, pastinya. Belum ditambah lagi dengan uang yang mesti dikeluarkan. Membawa uang 200 ribu, rasa-rasanya, masih membuat kita was-was, apalagi kalau tempat tujuannya adalah mall.
***
Hari Minggu yang lalu, Ori, teman SMA-ku, datang jauh-jauh dari Labuhan Bajo – Flores ke Jakarta untuk menghadiri resepsi pernikahan keluarganya. Ini adalah untuk pertama kalinya Ori menginjakkan kaki di ibu kota, dan oleh karenanya dia memintaku untuk membawanya keliling-keling Jakarta.
Ide yang pertama kali terlintas dalam pikiranku adalah memperlihatkan kepadanya bahwa Jakarta bukan cuma macet dan banjir. Ada banyak hal-hal menjengkelkan lainnya di sini yang mesti ia ketahaui. Banyak hal-hal negatif, selain banjir dan macet, yang juga menjadi daya tarik “wisata” di Jakarta. Oh, ya, jujur saja, aku bosan membaca buku-buku atau blog para traveller yang selalu menyajikan daerah-daerah di Indonesia laksana surgawi. Kenyatannya, walau tidak semua, masih banyak sampah di gunung dan laut kita, juga bau pesing akibat ulah para pengunjung. Akses dan alat transportasi yang tidak memadai, juga jarang sekali digambarkan dengan gamblang oleh mereka.
Baiklah, kembali ke Ori.
Apa daya, ideku ternyata sulit tercapai. Ori hanya punya waktu setengah hari, karena Hari Minggu malam pukul 9, ia sudah harus bertolak ke Semarang via kereta api. Jadi musnah sudah angan-anganku itu.
Minggu siang kami janjian bertemu di Monas, dan Ori sudah tiba terlebih dahulu bersama empat sepupunya, dan teman SMA-ku yang lain yaitu Kapten dan Ares. Aku, Tuthe & keluarga datang tak lama kemudian. Setelah selesai mengantre tiket, kami langsung tancap gas menuju pelataran monas. Tidak diduga-duga, walaupun panas terik dan sedang bulan puasa, tidak menyurutkan niat orang-orang untuk berwisata. Monas cukup ramai hari itu, dan antrean masuk gerbang monas, panjang sekali. Kami menyerah!
Akhirnya kami memilih untuk foto-foto di sekitar pelataran monas. Pada halaman luar terdapat tembok-tembok yang dipenuhi relief timbul yang menceritakan tentang sejarah Indonesia. Cara membaca relief-relief itu berurutan sesuai dengan arah putaran jarum jam.
Diawali oleh cerita tentang Kerajaan Singasari dan Majapahit, dengan maksud mengisahkan kejayaan Nusantara pada masa lampau. Lalu bergeser ke tenggara, relief-relief bercerita tentang masa pejajahan Belanda. Kemudian bergeser terus ke arah barat daya, barat laut, sampai pada bagian akhir, relief bercerita tentang masa pembangunan Indonesia di era modern. Sayangnya kulihat ada beberapa relief yang hancur, mungkin rusak akibat hujan atau ulah pengunjung yang gayanya berlebihan ketika mengambil foto. Sebagai catatan, Ori pun harus banget bergaya duduk di atas relief Komodo yang notabene dapat ia temui bentuk aslinya di Flores.
Tidak ingin membuang-buang waktu lebih lama lagi di Monas, kami bergegas menuju halte City Tour. Saya hendak mengajak Ori menikmati buah karya Pak Jokowi ketika masih menjabat sebagai gubernur. Berbanding terbalik dengan suasana di Monas, Bus City Tour yang kami tumpangi masih kosong. Belum banyak penumpang. Dinginnya AC membuat perjalanan kami semakin nyaman, tak seperti teriknya matahari yang kami rasakan di Monas.
Bus City Tour, atau yang biasa disapa Mpok Siti, membawa kami keliling Jakarta dengan beberapa tempat pemberhentian:
Halte Bundaran (HI) Hotel Indonesia – Halte Museum Nasional – Halte GKJ Sarinah – Halte Masjid Istiqlal (Monas 1), Halte Balai Kota (Monas 2). Yang patut disayangkan dari Mpok Siti adalah sudah ditiadakannya tour guide. Selebihnya dua jempol untuk ide brilian ini: Bus nyaman, gratis, dan melihat sebagian kecil Jakarta. Semoga kedepannya rute dapat diperpanjang.
Oh, ya, tapi memang tour guide seharusnya tetap ada. Saya membayangkan betapa asyiknya ketika melewat Bundaran HI, misalnya, kemudian si tour guide bercerita bahwa Tugu Selamat Datang ini dulu dibuat sebagai simbol kehebatan Indonesia. Di sekitaran tugu ini terdapat lima buah air mancur yang menandakan ideologi Pancasila sebagai dasar negara kita. Tidak jauh dari situ dibangun Hotel Indonesia untuk menunjukan bahwa saat itu Indonesia sudah lebih maju. Kini kita lebih mengenal tempat tersebut sebagai Bundaran HI ketimbang Tugu Selamat Datang.
Jika beruntung mendapat tour guide yang nyeleneh, mungkin saja dia akan melebarkan ceritanya. Bundaran HI, yang dulu digadang-gadang akan menjadi pusat kebanggaan Indonesia, kini justru menjadi titik temu para demonstran. Harga BBM, korupsi, perburuhan, sampai penegakan Syariat Islam, pernah atau mungkin akan selalu menjadikan Bundaran HI sebagai panggung unjuk rasa. Lalu di sekelilingnya bercokol gedung-gedung pencakar langit, mall, sampai terpampangnya tulisan ‘Kempinski’ pada nama Hotel Indonesia. Kesemuanya itu tak ada urusannya dengan nasionalisme, seperti cita-cita semula.
Tidak terasa, dua putaran bus City Tour telah kami tempuh dalam waktu kurang dari satu jam. Jalanan Jakarta pada Hari Minggu, bukanlah jalanan “Jakarta”. Terlalu lengang. Ori tidak memperoleh pengalaman berlalu-lintas sebagaimana yang biasa dirasakan penduduk Jakarta.
Kami turun di halte Sarinah, kemudian lanjut menuju Kota Tua.
***
Tak perlu aku jelaskan lagi betapa ramainya Kota Tua saat itu. Tujuan utama kami ke Kota Tua juga bukan untuk melihat-lihat, akan tetapi mencari oleh-oleh. Satu jam pertama aku menemani Ori menawar beberapa cindera mata, dari gantungan kunci sampai tongsis diborongnya. Baru setelah itu kami mengitari bangunan – dengan tembok-tembok pesing – Kota Tua.
Aku bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa orang-orang menjadikan tempat ini sebagai tujuan wisata. Beberapa dinding penuh dengan coretan, dan sisanya sudah banyak cat yang mengelupas. Tiang-tiang karatan, sampah, dan debu. Jika tua disama-artikan dengan tidak terawat, maka kita sedang salah kaprah sejak dalam pikiran. Huft!
Ori sempat menganga kagum ketika melihat Museum Bank Indonesia. Mungkin karena ia pegawai bank (Ori bekerja sebagai customer service di sebuah bank swasta) dan menemukan aura tersendiri dari bangunan itu. Plus di sebelahnya berdiri Museum Bank Mandiri. Semakin bank banget pasti. Aku lihat mata Ori sibuk menyapu semua yang tersedia di hadapannya. Dari deretan-deretan bangunan tua, pedagang kaki lima, lalu tembus hingga Museum Fatahillah melalui sungai Kali Besar yang mengalir tidak jauh dari situ.
Kali Besar, yang dulu dikenal dengan nama Groot River, membelah wilayah Kota Batavia bagian Barat [Westly der Stadt] menjadi dua bagian. Dulu si sekitar sini banyak tinggal orang-orang kelas menengah Eropa dan Cina. Saya sempat mengajak Ori untuk duduk-duduk sebentar di belantaran Kali Besar, namun ia menolak. Ori bersikeras untuk mencari penjual kerak telor sebelum kembali pulang.
Agak ajaib, sebetulnya, ketika akhirnya kami dapat menemukan satu-satunya penjual kerak telor di Kota Tua. Sempat menyerah, namun pada perjalanan pulang, kami malah menemukan lapak penjual kerak telor itu di antara gang kecil menuju tempat parkir. Kata Lamtiar, abang penjual kerak telor tersebut, teman-teman pedagang kerak telor lainnya pada berdagang di PRJ, sehingga saat ini di kota sepi penjual kerak telor.
Lamtiar adalah orang asli Jakarta, aku lupa ia tinggal di mana tepatnya, namun yang pasti ia sudah berjualan kerak telor di Kota Tua sejak 2008. Dengan bermodalkan peralatan masak, bahan baku kerak telor, dan piring yang ditaruh di gerobak pikulannya, ia membuka lapak mulai dari pukul 2 siang sampai malam hari ketika dagangannya habis terjual.
Sama seperti Ori, ini pertama kalinya aku mencoba kerak telor. Untuk yang telur ayam dihargai Rp15.000/pcs, sedangkan telur asin Rp.20.000. Aku menyebutnya sebagai Indonesian Pizza karena bentuknya yang memang mirip pizza. Ketan ditaruh dalam wajan, kemudian diaduk rata dengan telur, lalu dipanaskan di atas arang. Nanti setelah panas/matang, percampuran ketan dan telur itu ditaburi kelapa sangrai dan bawang goreng. Porsinya tidak terlalu banyak, tapi tidak habis aku makan berdua dengan Kapten.
Tidak terasa, langit Kota Tua sudah berwarna merah tanda senja menjelang. Kami berpisah pulang menuju tempat masing-masing, begitu juga dengan Ori yang sudah ditunggu keluarga besarnya di Stasiun Senin. Dan, ya, Jakarta terlalu luas untuk hanya dijelajahi dalam waktu sehari. Semoga lain hari Ori berkenan kembali ke sini.