Saya Orang Jawa, Bukan Orang Katholik
Penulis: Abib Pramuditya.
Assalamualaikum wr.wb, shalom aleichem, namo buddhaya, namaste. Hari ini, 4 april 2015, adalah malam paskah, hari raya terbesar umat kristiani, harusnya. Misa akan dimulai jam 7 malam, dan sekarang masih jam 5 sore, namun kebanyakan orang sudah mulai sok sibuk digereja. Tapi itu orang lain, aku dan beberapa orang tua masih di ladang. Hari ini juga hari besar bagi kami, umat yang bercocok-tanam, hari ini adalah hari dimana kami panen padi.
“Ayo, mas, pak, ditaruh pacul sama sabitnya, dipikul salib nya, pulang-makan-mandi-ke gereja,” tiba-tiba ada suara dari bapak muda-rapi yang duduk disebelah kami, sambil menghisap Jarum Supernya.
”Iya, pak, jam 6 juga sudah selesai, masih nunggu mobil bak,” Sahutku seperlunya. Hermanto, paling males sama bapak satu ini. Paling terkenal di lingkungan umat Katholik di desa kami, paling terkenal ceramahnya. Iman seujung kuku tapi ngomongnya dari ujung sampai ujung .
“Kalau ke ladang dari pagi sampai maghrib, betah. Giliran misa yang cuma 2-3 jam aja, datangnya mepet waktunya mas, nanti akhirnya cuma duduk di luar karena ga dapet tempat duduk, ngobrol, ketika homili nyalain rokok, habis komuni langsung pulang, ya to? Ambil kok ya jurusan ke neraka,” Dia ngomong seperti itu sambil melirikku dan Pak Sungkono. Pak Wasiran dan Pak Sukiran yang bersaudara kandung, ikut melirik kami berdua. Mereka berdua beda keyakinan dengan kami bertiga, mereka yakin kami kafir-sedangkan kami yakin mereka yang kafir.
“Orang se agama kok saling me-neraka-kan kalian itu?”Sukiran tertawa sinis sambil membenarkan duduknya.
“Aku, jawa mas, bukan Katholik,” sahutku pada semuanya.
“Kalau salibnya lebih penting dari paculku, sekarang aku langsung ke gereja. Gak nunggu mobil baknya datang, pak,” hanya beberapa detik setelah kata itu terucap, Pak Herman mulai menceramahiku tentang filsafat salib, horisontal dan vertikalnya. Basi, kata orang jakarta, dari sekolah minggu sampai sekarang sering terdengar nasihat dengan landasan teori tentang salib. 10 menit paling membosankan di sore ini ketika dia membicarakan itu.
“Yang bilang siapa pak? Yesus sendiri? Muridnya? Paulus? Apa gereja Katholik?” Herman cuma diam. Imannya yang seujung kuku, mentok pada pengetahuannya yang sebatas apa yang dia dengar dari romo.
“Salib, bapak cuma menjelaskan dua hal, hubungan pada sesama harus seimbang dengan hubungan dengan Tuhan, kan? Paculku menjelaskan 3 hal, lebih banyak dari apa yang bisa dijelaskan salib bapak, jadi saya nunggu mobil bak dulu, selesaikan pekerjaan saya, baru saya kegereja”
“Maksudnya?” Seakan angin segar bertiup ke wajah, saatnya membungkam tukang ceramah.
“Pacul, mengajarkan orang jawa untuk selalu mampu menyingkirkan sifat buruk. Bekerja giat demi rejeki, tanpa melupakan untuk selalu berdoa dan menyembah Tuhan”.
“Hahaha, dari mana?” sahutnya. Angin segar semakin semilir bertiup, rasanya.
“Pacul terdiri dari tiga bagian yang tidak bisa dipisahkan. Pacul – bagian yang tajam untuk mengolah tanah – memiliki arti ngipatke barang kang muncul – menyingkirkan bagian yang tidak rata – mengajarkan untuk berbuat baik dengan menyingkirkan sifat2 yang tidak rata – menyingkirkan ego yang berlebih – amarah yang berlebih – dan sifat jelek lain yang dikatakan tidak rata.”
“Bawak – lingkaran di pangkal pacul yang berfungsi untuk tempat batang pacul – memiliki arti obahing awak – gerak tubuh – manusia ini diwajibkan untuk bergerak – mencari rejeki – menghidupi diri sendiri, keluarga, sesama, dan bahkan gereja – berbakti pada Tuhan pun perlu berusaha -manembah Gusti Allah tan kendat rino kelawan wengi (menyembah Tuhan siang malam), Doran-batang pacul – Donga marang Pangeran – Gusti Allah kang dingengeri (diikuti) – memperbaiki diri, berusaha mencari rejeki, disempurnakan dengan berdoa pada Yang Maha Kuasa.”
Angin sejuk bertiup segar, tidak berkata-kata lagi, Pak Herman langsung meninggalkan kami. Salibnya belum bisa mengalahkan pacul kami, paculku tepatnya. Beberapa menit kemudian mobil yang mengangkut padi kami datang.
Jam 7 tepat, misa paskah di gerejaku dimulai. Aku duduk paling belakang. Tidak terlambat – tidak menyalakan rokok sambil mendengarkan homili – tidak bergegas pulang setelah selesai menerima komuni. Misa selesai ketika romo mengucapkan Selamat Paskah. Sudah kupanggul salibku 2 jam lebih, di gereja, berdoa sebagai orang Katholik , dan beribadah dengan sesamaku sebagai orang Katholik: salib. Tapi setelah keluar dari gereja kulepas salibku dari pundakku, kupanggul paculku, karena aku masih punya banyak hal yang harus diperbaiki. Masih harus bekerja untuk menghidupi hariku, dan masih bisa berdoa pada Tuhan untuk menyempurnakan hariku.
Makan malam paskah ku sebagai orang jawa sangat kunikmati: berkaos oblong, makan pelan sambil menonton tv, tidak seperti yang tertulis bahwa malam paskah pada perjanjian lama, harus makan dengan tergesa dan memakai baju khusus ala orang israel pada jamannya. Karena aku orang jawa, bukan orang israel yang katanya umat pilihan Tuhan, dan ini jamanku, bukan 2000 tahun yang lalu.
Memeluk agamamu bukan berarti meninggalkan jati dirimu, saya orang jawa dan masih (beragama) Katholik, Selamat Paskah bagi yang merayakan, selamat panen bagi yang memperjuangkannya.
*image diambil dari sini