Sama Rupa, Beda Rasa


Saya semakin yakin bahwasanya tak pernah ada perjumpaan yang sama. Entah baik atau buruk, senang atau sedih, atau apapun itu yang kita temui, yang pasti setiap perjumpaan akan menghadirkan hal yang berbeda.

Akhir pekan lalu, saya mudik prematur ke Ambarawa. Selama satu malam menginap di kota kecil ini, saya menyicip berbagai makanan, yang memang sudah saya rencanakan sejak semula. Saya bahkan menulisnya pada notes handphone agar tidak ada yang terlewat. Nasi kucing, saren, mie godok, bubur candil, wedang ronde, dan tengkleng.

Semua berhasil saya beli, terkecuali nama terakhir. Untungnya saat perjalanan pulang, secara tak terduga-duga, saya menemukan warung makan yang sotonya mak nyus sekali. Warung makan ini berukuran kecil (seperti warteg-warteg di Jakarta), letaknya tepat di alun-alun kota Brebes, di depan Masjid Agung.

Saya menyebutnya ‘tak terduga-duga’ karena ini bulan puasa, dan membelinya pada pukul 8 pagi. Warung makan ini tidak tutup walaupun posisinya berhadap-hadapan dengan Masjid. Kalau di Jakarta, saya rasa pasti tutup. Kalaupun buka, nanti ujung-ujungnya akan dipaksa tutup oleh ormas. Dan yang lebih penting lagi, rasa sotonya enak sekali.  Suatu saat saya akan kembali ke sini untuk mencobanya lagi. Anggap saja soto alun-alun Brebes ini sebagai pengganti tengkleng yang gagal saya dapatkan.

Bukan tanpa alasan hingga saya sampai begitu niatnya mencatat nama-nama makanan yang wajib disantap saat mudik. Hanya ada satu alasan, sebetulnya. Dan alasan itu sudah lebih dari cukup bagi saya untuk mengobarkan tekad wajib santap. Alasannya adalah karena saya tak menemukannya di Jakarta. Walaupun ada, paling hanya sama rupa, tapi rasanya jauh berbeda.

Di Jakarta, angkirngan nasi kucing sudah menjamur. Ada di mana-mana. Tapi kok ya rasanya beda. Rasa nasinya, jeroannya, ikan asinnya, juga orek tempennya berbeda dengan yang biasa saya cicipi di Jawa. Begitu juga dengan mie godok, saren, wedang ronde, bubur candil, dan tengkleng, yang dapat saya temukan dengan mudah di Jakarta, tapi rasanya tak seenak yang dijual di Jawa.

Jakarta seperti handal dalam meniru rupa, tapi tidak dengan rasa. Saya sudah coba berkeliling mencari yang rasanya sama, tapi bahkan, yang nyaris sama pun tidak ada. Entahlah apa yang menjadi penyebabnya. Apakah karena kesulitan mencari bahan baku yang sama, dimasak oleh orang yang berbeda, atau memang tak akan pernah ada perjumpaan yang sama. Mungkin tak akan pernah ada rasa soto yang benar-benar sama. Bahkan walaupun makan di warung yang sama, dimasak oleh orang yang sama, mungkin saja rasanya berbeda dari hari ke hari. Hari ini mungkin rasanya pas, tapi besok kelewat asin, dan lusa kuahnya terlalu encer.

Oh ya, tapi bagi saya, setidak-tidak enaknya masakkan di Jawa, masih lebih enak ketimbang yang di jual di Jakarta.

Untuk mengobati rasa kangen terhadap makanan-makanan yang biasa saya santap saat remaja itu, saya akan bela-belain mencarinya tiap kali mudik. Sikap macam inilah yang mungkin sedang/selalu menjangkit perasaan saya dalam hal asmara.

Jangan-jangan selama ini saya sedang mencari orang yang sama. Yang sama cantiknya, sama pintarnya, sama baiknya, serta sama sama sama yang lainnya. Giliran cantiknya sama, eh sifatnya beda. Sebaliknya, saat sifatnya sudah sama baik kaya yang dulu, cantiknya sama, eh pemalas. Ada-ada saja hal yang menjadikannya tidak persis sama.

Kalaupun nanti, akhirnya, bertemu dengan orang yang sama, paling-paling rasanya sudah (jauh) berbeda. Tak sama seperti dulu.

Tak pernah ada perjumpaan yang sama.

Semoga cepat saya menyadarinya.

 

Tulisan ini telah dikunjungi sebanyak 1 kali, 447 diantaranya adalah kunjungan hari ini.