Mengubah Konsumen Menjadi Fans
Penulis: Iqbal Maesa.
Baru beberapa bulan lalu, saya selesai membaca lagi buku Predictably Irrational-nya Dan Ariely. Saya terusik dengan pembahasan social vs. market norms. Saya, yang mengamati salah satu fandom yang sedang pesat berkembang di Indonesia, menyadari bahwa aplikasi social vs. market norms yang dimanfaatkan mereka sebagai salah satu strategi pemasaran sekumpulan remaja putri yang bernyanyi (meskipun beberapa menilai mereka melakukan lip-sync) dan menari di salah satu mall besar yang salah satu lantainya ditempati sebagai teater pertunjukan mereka.
Pembahasan social vs. market norms versi Ariely menyatakan bahwa ‘mata uang’ dalam transaksi dapat dipandang secara ekonomi (market norms) atau interaksi sosial (social norms). Kedua jenis norma ini bekerja secara berbeda dan tidak boleh dicampuradukkan. Market norms memandang transaksi sebagai cold cash, cost-and-benefit, atau hanya untuk tujuan ekonomis saja sedangkan social norms lebih menekankan pada relasi interpersonal yang terjadi selama transaksi. Salah satu contoh yang disampaikan Ariely mengenai pencampuradukkan social dan market norms adalah PDKT. Masyarakat kita sudah terbiasa dengan pihak laki-laki yang membayar biaya untuk melaksanakan PDKT. Aturan tersebut terlanggar ketika laki-laki menceritakan seberapa besar usaha (finansial) yang telah ia lakukan untuk mendapatkan hati sang pujaan.
Kembali membahas para kelompok idola remaja putri tersebut. Saya menduga bahwa terjadi peralihan dari market norms ke social norms dalam transaksi idola-fans ini. Mari saya ceritakan background story untuk penjelasan argumen saya. Para kelompok idola remaja putri ini memiliki tempat basis fans yang disebut dengan teater. Di teater tersebut, para remaji idola tersebut menampilkan pertunjukan nyanyi-dan-tari (serta MC ala-ala). Untuk menonton para remaji idola itu, fans harus melakukan undian dan membayar 100 ribu rupiah. Di sini bagian menariknya, untuk beberapa kalangan, 100 ribu rupiah adalah harga yang cukup lumayan untuk pertunjukan selama 2 jam. Namun yang lebih menarik lagi, kedatangan fans ke teater itu menerapkan sistem MVP (Most Valuable Participant), yang mana menandakan kedatangan kelipatan 100 kali ke teater (rekor tertinggi yang penulis tahu adalah 400 kali kedatangan teater).
Kasus di atas secara normal berlaku apabila seorang fans menang undian tiket. Namun, fans yang tidak menang undian tiket dapat melakukan waiting list. Menang undian tiket tidak menjamin bahwa seorang dapat mendapatkan kursi untuk menonton pertunjukan yang dilakukan remaji idola tersebut. Ketidakpastian tersebut dikarenakan sistem yang menempatkan tiket yang sudah didapatkan seorang penonton untuk diundi lagi urutan masuknya ke dalam ruang teater. Jika bernasib kurang beruntung, nomor yang didapatkan penonton dapat dipanggil terakhir dan berujung pada menonton dengan posisi berdiri. Bisa dibayangkan berdiri selama dua jam menonton remaji idola tersebut menyanyi-dan-menari. Dan, ingat masalah waiting list? Mereka dipanggil setelah semua pemenang tiket masuk ke dalam teater dan ya, mereka mendapatkan peluang yang besar untuk menonton dalam posisi berdiri.
Tidak hanya teater, selayaknya artis, mereka juga mengeluarkan album CD untuk mengukuhkan eksistensi sebagai entertainer di bidang tarik suara. Hal yang menarik dari penjualan album remaji idola ini adalah penjualan album mereka tergolong laku keras begitu pun dengan gimmick lain seperti photobook dan merchandise resmi lainnya.
Fenomena ini menarik penulis dan mengaitkannya dengan literatur Ariely, penulis menduga bahwa remaji idola ini sukses mengubah mindset usaha (finansial) yang dimiliki fans dari market norms ke social norms. Mengingat tidak sedikitnya biaya yang dikeluarkan untuk melihat pertunjukan idola, penulis berpikir bahwa tidak mungkin biaya yang keluar diatribusikan sebagai market norms. Karena jika demikian, tentu fans merasa rugi karena biaya yang dikeluarkan mungkin tidak sebanding dengan upaya yang didapatkan dari menonton idola. Penulis menduga bahwa social norms lebih digunakan pada uang yang digunakan dalam pertukaran hubungan fans dan idola. Lebih spesifiknya lagi, peralihan ke social norms disebabkan hubungan parasosial yang dijalani.
Hubungan parasosial adalah sebuah istilah yang dikemukakan Donald Horton & R. Richard Wohl, pakar psikologi komunikasi dan media, untuk menjelaskan hubungan tanpa timbal balik yang dijalani seorang individu dengan pihak lain yang status sosialnya lebih tinggi. Kajian mengenai hubungan parasosial banyak meneliti hubungan antara fans dan idolanya. Seiring ketertarikan penulis akan fenomena fans dan idola, penulis mendalami kajian parasosial dan terkesima dengan apa yang dapat diperbuat oleh idola menggunakan social norms kepada fansnya. Untuk kasus teater, setelah teater diadakan sesi tos atau hitouch dengan member yang mengikuti pertunjukan kali itu. Beberapa bukti anekdotal pun menunjukkan bahwa salah satu alasan orang menonton teater berulang kali adalah karena ingin melihat idolanya saja untuk pertunjukan kala itu.