Mendewasa


Penulis: Iqbal Maesa Febriawan.

Menjadi salah satu dari dua orang termuda di kantor dan lepasnya kebutuhan finansial (secara parsial) dari orang tua menjadi inspirasi saya menulis artikel ini. Pertanyaan yang beberapa kali muncul dalam refleksi harian penulis adalah: bagaimana cara menjadi orang dewasa yang ideal? Pembaca mungkin bertanyatanya apakah kriteria orang dewasa yang ideal. Penulis tidak begitu yakin bahwa indikator menjadi dewasa adalah menikmati tayangan dengan rating ‘Untuk Dewasa’ atau memasang status di media sosial dengan kalimat bijak ala motivator atau buku-buku self-help. Artikel ini akan menarasikan salah satu teori besar di psikologi yang membahas men(jadi)dewasa dan menyertakan pemikiran acak dari penulis terkait menjadi dewasa.

Salah satu pencetus teori yang penulis kagumi mengenai tahap perkembangan manusia adalah Erik Erikson. Satu hal yang pasti, pengulangan nama yang ia miliki tidak mengindikasikan bahwa ia adalah orang Sunda. Melalui tahap perkembangan psikososialnya, Erikson mencoba membahas tugas perkembangan dan keutamaan hidup (virtue ) yang harus dikejar oleh individu. Untuk tahap perkembangan dewasa sendiri, Erikson membagi menjadi tiga fase: dewasa muda, dewasa madya, dan dewasa lanjut. Kali ini, penulis akan berfokus pada tahap dewasa muda.

Tahap dewasa muda (seperti yang penulis alami sekarang) adalah masa pencarian…cinta. Tidak mengagetkan bahwa para jomblo di usia ini mengalami galau atau baper (terbawa perasaan) yang lebih kronis dibandingkan ketika usia remaja karena tugas perkembangan di masa tersebut adalah menyusun jati diri yang kokoh. Sebenarnya, keutamaan hidup di masa dewasa tersebut dapat terpenuhi tidak hanya oleh cinta romantis. Teori mengenai cinta sendiri tidak hanya berfokus pada cinta romantis, tetapi juga cinta pada alam, cinta pada kemanusiaan, dan lain sebagainya.

Mendewasa juga tidak terlepas dari berhadapan dengan karir. Banyak orang mengaitkan karir hanya dengan konteks pekerjaan. Karir sendiri adalah jawaban dari pertanyaan “apakah yang kau inginkan dalam hidup?”. Penulis berpendapat bahwa kata kunci dari karir adalah renjana (passion ), hal yang membuat seseorang memiliki semangat dan keinginan untuk mencapai hal tersebut. Terkait hal tersebut, tugas perkembangan di masa remaja, pencarian identitas, sepatutnya sudah diselesaikan. Dengan identitas yang kokoh, seseorang dapat mengenali apakah nilai-nilai yang bermakna bagi dirinya dan dapat mengaitkan nilai tersebut dengan renjana yang ingin dicapai. Dengan demikian, renjana akan berujung pada rencana, bukan bencana ( hey, it rhymes!)

Pembaca mungkin menyadari bahwa ada kata mendewa dalam mendewasa. Penulis meyakini bahwa mendewasa bukan berarti mendewa, menjadi dewa menjadi bisa segalanya sendiri. Terlebih ketika dewasa, hubungan antarmanusia menjadi semakin kompleks. Suka maupun tidak, orang dewasa akan terhubung dengan lebih banyak simpul di jejaring sosial (tidak hanya online ). Mungkin skema mental kita (atau setidaknya penulis) ketika masih kecil hanya mengenal teman atau musuh.

Dengan mendewasa, batasan itu semakin buram. Teman yang kita anggap karib dapat saja membicarakan kita di belakang dan orang yang dimasukkan dalam kategori musuh bagi kita bisa saja adalah orang yang memberikan kritik paling berharga bagi pengembangan diri kita. Tidak salah pula, beberapa orang menerapkan prinsip hidup ‘jangan pernah percaya sepenuhnya pada orang lain’. Percaya (trust ) pada orang lain perlu untuk mengembangkan hubungan antarpribadi namun gunakan kepercayaan tersebut dengan bijak agar tidak disalahgunakan ke depannya.

Penulis yakin, masih banyak segi dari menjadi dewasa namun mungkin baru ini yang terpikir di benak penulis selama menulis di gerbong nomor tujuh kereta Bogor-Jatinegara yang biasa penulis tumpangi demi menyusun kepingan jati diri dewasanya.

 

Tulisan ini telah dikunjungi sebanyak 1 kali, 625 diantaranya adalah kunjungan hari ini.