Mati Ketawa ala Corona

Konfrensi Pers Presiden Jokowi terkait Corona yang isinya mengimbau masyarakat untuk bekerja dan beribadah di rumah, yang tak lama kemudian disusul keputusan Gubernur Anies untuk mengurangi jumlah transportasi umum dan pembatasan jam operasional, apakah membuat perubahan sikap masyarakat terhadap Corona? Malam itu gue sama sang adik sih langsung berburu bahan pokok ke swalayan. Pertama ke Superindo Jatibening Estate, eh penuh. Trus pindah ke GS di Jatikramat.

Saat pertama kali ditemukan suspect Corona di Indonesia, gue dan adik masih biasa-biasa aja. Ada isu banyak orang mulai belanja besar-besaran, baik kebutuhan pokok maupun hand sanitizer, tapi gue sama adek gue biasa-biasa. Namun untuk yang kali ini beda. Presiden dan Gubernur ibu kota mengambil langkah konkret, yang artinya kami sebagai warna negara dan penduduk yang tinggal di pinggiran Ibu Kota juga harus mengambil langkah konkret. Tidak bisa yang biasa-biasa saja.

Kami berburu kebutuhan pokok, yang mana sepertinya dilakukan juga oleh orang lain karena swalayan penuh. Gue membuat keputusan akan mengantar jemput adek gue ke kantor untuk menghindari berdesakan di tranportasi umum.

Esok paginya, Senin, 16 Maret 2020, viral video-video yang memperlihatkan penumpukan penumpang di kendaraan umum dan beberapa titik halte/stasiun yang disebabkan dibatasinya jumlah armada padahal jumlah penumpang tampak tidak berkurang.

Ini artinya orang-orang yang berkantor di Jakarta tidak takut dengan wabah Corona. Mereka tetap ngantor seperti biasa. Gue pikir tadinya ini blunder pemerintah yang tidak berani dengan tegas menginstruksikan para pegawai untuk tetap di rumah sehingga terjadi penumpukan di kendaraan umum yang malah membuat kemungkinan tertular menjadi tinggi, eh ternyata situasi memang direncanakan.

Baru aja gue liat di Twitter ada yang ngeshare video Pak Anies ngomong di sebuah meeting bahwa penumpukan penumpang di Hari Senin itu memang bagian dari rencana untuk memberika efek kejut ke warga agar tidak menganggap enteng Corona.

Lha buset, ngasih efek kejut kok warga. Kalau warga pada ketularan gimana? Efek kejut mah harusnya kasih ke penguasaha agar mereka dengan rela membiarkan pegawainya bekerja dari rumah.

Hari itu gue juga ketemuan sama Hepi dan Iwan. Malam sebelumnya, gue ngechat mereka di group untuk mengingatkan mereka menjaga kesehatan sebab mereka sudah berkeluarga. Eh si Hepi malah menanggapinya dengan ngajak makan siang bareng, dan si Iwan kok ya mau-mau aja. Gue pun ga mungkin menolak. Maka jadilah petang dan pagi hari pertama. Kami bertemu di Holycow Citos, dan berlanjut ngobrol di Starbucks.

Kami bertiga orang terpelajar, tidak gaptek, dan punya relasi relatif luas. Artinya pikiran kami seharusnya tidak sempit dan tidak tertinggal, tapi kok di tengah-tengah isu wabah gini malah janjian bertemu? Itu dia yang jadi PR bangsa ini. Bagaimana dapat menyampaikan pesan dengan tepat, yang mana audiencenya sangat beragam. Tidak semuanya terpelajar, tidak semuanya memiliki akses informasi yang cepat.

Jujur aja pas ngobrol sama Hepi dan Iwan kemarin, gue menangkap kesan bahwa kami bertiga pun tidak yakin dengan pengetahuan kami terkait Corona, tentang bagaimana cara penularan, pencegahannya, asal-usulnya, dll. Yang jelas kami sama-sama tidak takut untuk berkativitas seperti biasa.

Blunder atau bener? Gue sih nganggepnya blunder.

Hepi dan Iwan bertemu banyak orang di kantornya, bahkan ekspat. Lalu di mall ada kemungkinan kita berpapasan dengan orang yang terjangkit Corona. Mereka bisa kapan saja bersin dan menyentuh benda-benda yang dapat kami sentuh juga, semisal daun pintu, tombol lift, dll.

Sebetulnya horor. Corona ini yang semematikan aids dengan penularan semudah flu, Tapi kami hadapi dengan ketawa-ketiwi bahas Corona. Mungkin karena efek kangen karena udah lama ga ketemu bertiga.

Semoga sehat-sehat semua deh

Tulisan ini telah dikunjungi sebanyak 1 kali, 79 diantaranya adalah kunjungan hari ini.