Manis, Begitu Para Lelaki Memanggilnya
Penulis: Ares Hutomo
Aku mendapatinya di sana, di ujung payung pantai yang mender karena angin, dengan sebotol tequila yang tak kunjung habis, terduduk lemas dengan muka menekuk dan air mata yang mengalir diiringi sesenggukan kecil darinya. Rambutnya panjang, dagunya lancip dan tatapan nanar matanya meluluhkan hatiku.
Aku melangkah perlahan menuju dia, bukan karena aku takut padanya tapi aku butuh waktu untuk menilai orang ini. Walupun terduduk, dia adalah wanita jangkung dengan poni terurai yang menutupi jidat lebarnya. Usianya kutaksir sekitar 25, tidak cantik tapi cukup menarik untuk dipandang. Manis, bahasa lelaki menyebutnya. Dan penampilan sederhana dengan kaos berbalut jeansnya memantapkan langkahku untuk segera tiba di tempatnya beradu air mata. Dia butuh pertolongan, pikirku.
“Kenapa mbak kok nangis?”
“Memang kenapa mas?”
“Ya ini uda malam dan mbak malah nangis disini.”
“Lha iya,memang kenapa?”
“Gak baik mbak.”
“Lha iya mas,memang kenapa?????”
Aku tak segera menjawabnya. Tidak ada bau alkohol, dia belum menenggaknya. Aneh memang, tapi aku malah makin tertarik di samping jawaban sinisnya. Dia peminum, aku bisa tau dari caranya memegang botol. Dan yang terpenting, dia terbiasa dengan itu. Terbiasa dengan itu adalah sebuah makna yang luas dan dengan cepat hinggap di pemikiranku, pemikiran logis seorang pria.
Satu pemikiran tentang club malam dengan cepat meloncat ke sebuah pub pub kecil dan kehidupan gemerlap hingga suatu pola hedonisme yang ta berujung. Penampilan wanita ini sederhana tapi dia tidak memperlakukan dirinya sendiri secara sederhana. Kehidupan punya cara unik untuk menyampaikan maksudnya kepadaku.
“Gak bosen mbak gitu gitu terus aja? Gak mau nyari pelampiasan yang lebih baik untuk masalahnya mbak?”
“Mas tau apa? Saya gak kenal mas dan saya punya kehidupan sendiri.”
“Oh..oke deh. Kalau begitu saya pamit dan yaaaahh paling gak tequila dihabiskan, sayang…”
Tepat di saat aku tengah akan beranjak dari tempat peraduannya, dia terisak dan berucap,
“Saya cewek gak bener mas, dosa saya banyak. Dan mas cuma mau ke sini untuk berucap itu? Memang mas bisa menilai saya hanya dengan bertatap muka seperti ini?’
“Oh. Jelas gak akan bisa mbak, tapi paling tidak saya tau permukaannya mbak seperti apa.”
Dia tersenyum. Sebuah senyum simpul manis sederhana disertai sorot mata yang dalam. Sebuah sorot mata yang seakan mengatakan kepadaku bahwa ‘kamu bisa dipercaya’. Aku segera berbalik dan menghempaskan diriku di pasir pantai yang malam itu terlihat sedikit bercahaya.
“Jadi…?”
“Jadi saya akan mendengarkan cerita mbak. Entah cerita mbak menarik atau enggak,entah cerita mbak bohong atau gak atau malah mungkin nanti saya bisa memberi saran ke mbak walopun mungkin nanti saran saya tidak menarik juga untuk mbak karena saya juga bohong ke mbak.. gitu..”
“Hahahahhahhahahahahaahhahaha,” dia tertawa lepas. Tawa ceria yang sangat kontras dengan sikap pilunya tadi. Aku merasakan sesuatu di situ. Sesuatu yang angkuh.
“Jadi kita kenalan dulu lah mas. Saya angel,” sebuah uluran tangan ditujukan ke arahku.
“Saya rian.”
“Lalu kita mulai dari mana mas rian?”
“Bagaimana kalau dimulai dari botol tequila yang tak kunjung berkurang itu?”
Dia kembali tertawa lepas. Dan sekali lagi sorot matanya, sorot mata yang seperti menaruh harapan besar padaku. Harapan dari orang yang bisa dia percaya.
Bersambung ke Martini, not Tequila. Klik di sini.