Macet Cepatlah Berlalu
Yang membedakan Jakarta dengan kota-kota lain di Indonesia adalah semua orang, tak pandang dari mana pun asalnya, membicarakan Jakarta. Saat memasuki periode pemilihan Gubernur Jakarta, semua orang ikut-ikutan berbicara tentang Jakarta, padahal ada-ada saja di antara mereka yang bukan penduduk Jakarta. Jelang lebaran, misalnya, Jakarta pastinya dijadikan hulu dan hilir berita arus mudik. Semua mata tertuju pada Jakarta. Bahkan ketika nanti topik pembicaraan sedang membahas kota-kota lain, misalkan Aceh, Makassar, Bali, atau Sorong, tiba-tiba saja ada yang mencoba mengait-ngaitkan atau membanding-bandingkannya dengan Jakarta.
“Beda sekali, ya, dengan cuaca di Jakarta. Panas.”
“Coba bandingkan dengan di Jakarta, timpang sekali. Di sana berjejer gedung-gedung pencakar langit. Sedangkan di sini?”
“Di Jakarta, apa saja bisa dijadikan pekerjaan. Kamu modal payung saja bisa jadi ojek payung. Di sini uang seperti sembunyi entah di mana.”
Itu hanya salah satu (padahal ada tiga contoh :p) percakapan sehari-hari yang biasanya bawa-bawa nama Jakarta. Jakarta selalu menjadi trending topics.
Dan dari sekian banyak bahan perbincangan, saya rasa, macet adalah topik yang paling sering diperbincangkan. Dari pagi sampai malam, TV dan Radio tak kan luput memberitakan kabar terbaru kondisi lalu lintas Jakarta. Mereka yang bekerja office hour, berlomba-lomba berangkat lebih pagi agar tidak terjebak macet. Nanti setibanya di kantor, apabila datang terlalu pagi, para pekerja akan berseru lantang, “gile, jalanan lancar banget!”, dan apabila, sebaliknya, mereka terlambat untuk beberapa detik saja, maka makian untuk jalanan Jakarta akan terucap sepanjang hari. Terus seperti itu setiap harinya, bahkan sampai nanti ketika para pekerja tersebut mudik ke kampung halaman, kemacetan akan menjadi “oleh-oleh” cerita yang menarik. Dan tersebarlah legenda kemacetan Jakarta ke seluruh pelosok negeri.
Gara-gara kemacetan ini rasa-rasanya sedikit sekali orang yang akan menempatkan Jakarta sebagai kota favorit, terlepas dari begitu banyaknya peluang mencari nafkah di ibu kota. Apakah di kota lain tidak ada kemacetan? Pasti ada tentunya. Di Bali juga ada macet. Yogya juga. Setiap long weekend, kemacetan Jakarta seolah berpindah ke Bandung. Negara-negara lain pun menghadapi kemacetan. Namun, jika teman-teman berkunjung ke Stop-Start Index, di sana sebutkan Jakarta adalah termacet di dunia!
Castrol Magnatec mencoba menghitung berapa kali seorang pengendara berhenti dan bergerak kembali per kilometer. Kemudian hasilnya dikalikan dengan rata-rata jarak yang ditempuh setiap tahun oleh seorang pengemudi. Dari 78 negara yang diambil datanya, Jakarta menempati urutan pertama dengan index Stop-Start 33.240. Artinya dalam setahun seorang pengendara di Jakarta rata-rata berhenti dan kemudian bergerak kembali 33.240. Warbiyasak! Jakarta tidak sendirian, karena Surabaya menempati urutan ke empat dengan index Stop-Start 29.880, sedangkan berurutan di posisi ke dua dan tiga adalah Kota Istambul dan Kota Meksiko.
***
Kepolisian, dalam hal ini polisi lalu lintas (polantas), seharusnya dapat menjadi ujung tombak dalam usaha meniadakan kemacetan. Tentunya mereka tidak bisa bekerja sendirian. Kesadaran masyarakat serta infrastruktur yang dibangun pemerintah adalah variabel lain yang dapat membantu kerja polantas menjadi lebih ringan, akan tetapi kepolisianlah yang tetap menjadi frontliner di jalan raya. Mereka yang akan menjadi garda terdepan dalam pencegahan dan atau mengurai kemacetan.
Ada dua hal paling mendasar, yang menurut saya, harus dilakukan oleh polisi. Pertama, tahu betul letak titik-titik rawan macet dan jam-jam kemacetan biasa terjadi. Pada titik dan saat yang tepat itulah, polisi haram hukumnya untuk tidak berada di sana. Saya mencoba memaklumi apabila polantas tidak bisa selalu berada di semua titik selama 24 jam sehari, namun apabila kita melewati suatu tempat, pada jam tertentu, dan selalu macet, tapi tidak melihat adanya polantas di sana, maka jangan heran bila feedback negatif terlontar. Untuk mengakalinya, ada baiknya kepolisian berkeliling jalanan Jakarta dan memastikan rambu-rambu, terutama traffic light, dapat terlihat dengan sempurna. Tidak terhalang pohon atau malah tidak berfungsi.
Ke dua, ketegasan dan tidak tebang pilih dalam menegakkan keadilan. Tidak hanya pengendara motor dan mobil, pejalan kaki yang menyeberang tidak pada tempatnya, sepeda yang lalu-lalang seenaknya, sampai pedagang kaki lima yang menjejali trotoar sudah sepatutnya ditindak. Semua yang menggunakan jalan raya, haruslah patuh pada aturan yang berlaku.
Setidaknya dua hal tersebut yang harus terlebih dahulu diperbaiki oleh kepolisian. Baru setelah itu kita dapat berbicara hal-hal lainnya seperti kepemilikan Surat Izin Mengemudi (SIM), misalnya. Sudah seketat apakah pihak kepolisian dalam melakukan proses seleksi pembuatan SIM? Apakah sudah benar-benar seleksi atau hanya formalitas belaka? Apakah mereka yang berhasil memperoleh SIM, benar-benar telah pantas mengendarai, dalam artian sudah paham rambu-rambu yang ada? Berkendara bukan cuma soal bisa mengendalikan kendaraan, tetapi juga paham berlalu lintas. Lagi pula hal ini juga dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Bukan hal yang baru, namun tetap harus dipertahankan atau bahkan ditingkatkan, yaitu memanfaatkan televisi dari radio untuk mengabarkan situasi terkni lalu lintas. Pengendara mobil khususnya, sangat terbantu dalam memilih jalur-jalur alternatif bagitu mengetahui jalur utama yang hendak ditempuh dikabarkan macet. Memperluas kerjasama dengan stasiun-stasiun televisi dan radio serta menambah titik-titik jalan yang dipantau, akan sangat membantu pengguna jalan.
Kemajuan teknologi juga harusnya dapat dimanfaatkan oleh kepolisian. Papan berita digital sudah terlihat di beberapa ruas tol, walau jujur saja tingkat akurasinya saya pertanyakan. Beberapa kali saya terjebak macet walaupun pada papan berita digital tersebut disebutkan jalanan lancar, atau pernah juga terjadi sebaliknya. Saya belum tahu apakah sudah ada atau belum, tetapi sepertinya aplikasi pada smart phone yang dapat medeteksi kemacetan akan sangat berguna. Sebetulnya hal ini sudah ada pada aplikasi navigasi, Waze, dan sudah banyak juga yang menggunakan. Namun jika ada aplikasi yang khusus dibuat atas nama kepolisian, kenapa tidak? Pasti laku sekali.
Terakhir, namun bukan yang paling akhir, kepolisian harus bisa merangkul semua pihak untuk peduli. Jangan salah, Pak Ogah yang menjamur di perempatan-perempatan ibu kota sebetulnya banyak sekali membantu. Kalau tidak ada mereka, bisa-bisa jalanan tambah macet. Nah, apakah memungkinkan jika kepolisian merangkul Pak Ogah-Pak Ogah tersebut? Diberi edukasi, misalnya. Kemudian bisa saja diberikan rompi atau semacamnya agar terlihat lebih rapi dan terkontrol. Bekerjasama dengan sekolah-sekolah untuk menyosialisasikan tata cara berlalu lintas yang baik. Melalui ekstrakulikuler Pramuka, kepolisian bisa mengajak murid-murid sekolah untuk bersama-sama praktek menjaga lalu lintas.
Dan, ya, tentu saja polantas tetap harus patroli dan siap sedia 7 hari dalam sepekan, 24 jam dalam sehari. Kemacetan dan tindak kejahatan seringkali sejalan.
***
Berharap kemacetan musnah dari Jakarta begitu saja, rasanya tidak mungkin. Namun, bolehlah sekali-kali kita membayangkan dapat janjian dengan teman-teman seenaknya, kapanpun dan di mana pun di dearah Jakarta, tanpa harus memperhitungkan waktu yang ditempuh dan bensin yang terbuang oleh karena terjebak macet. Pasti menyenangkan sekali. Dengan membayangkan ini, semoga saja kita juga bisa turut membantu polantas dalam mengurangi kemacatan.
Setiap kota punya persoalannya sendiri-sendiri. Bosan rasanya jika Jakarta terus-menerus berkutat pada persoalan yang itu-itu saja: Macet!