Kupu-kupu Pelupa yang Mudah Terlena

Penulis: Ares Hutomo.

Kepompong coklat itu meretas, menggeliat perlahan menampakkan sesosok makhluk yang hendak menyeruak keluar. Pun tidak goyah bergantung di dahan yang gontai. Saat ini, dunia sedang menantinya, menanti ia keluar dari lambannya cahaya mentari yang mencoba berkelit masuk menyusup di antara ranting dan dedaunan rimbun. Menanti saat di mana ia dapat terbang mengepak sayapnya hingga membelah semilir angin di dunianya yang kecil nan elok.

Banyak cita yang menjadi suatu asa bagi ulat kecil yang terlahir dari sebuah telur di daun hijau. Ketika dia keluar, dia hanya akan merasa lapar dan segera memakan cangkangnya sendiri. Lalu dia mulai berjalan gontai dan pastinya akan merasa lapar lagi. Dan begitu seharusnya dan seterusnya ia akan mulai makan dan makan lagi. Tetap pada sifatnya yang perlahan memilih dari daun satu ke daun yang lainnya hingga ia merasa bahwa selembar daun yang ia pijak adalah surga baginya. Tidak perlu daun yang besar, apalagi menghijau ranum tuk disantap. Ia hanya perlu nyaman disitu, menghabiskan semuanya sendiri jauh dari apapun yang mengganggunya. Begitulah adanya, sampai ia merasa cukup kenyang siap dan mampu untuk melihat ke dunia luar yang tidak hanya selebar daun hijau nan matang.

Satu kepak sayap mulai muncul dari kepompong itu, meninggalkan sang ulat yang dulunya tidur memanja di dalamnya. Terlahir sebagai sesuatu yang baru bersiap mengarungi wahana haru yang membentang di depannya.

Namun, ia terlihat lemah, tak berdaya juga tak kuasa mengepakkan kedua sayapnya. Pengalaman pertama baginya di pembukaan tahun yang memberinya semangat membuncah untuk segera mengangkasa. Ia terlihat lunglai, jatuh terkapar di percobaan pertamanya namun segera bangkit dan meraih pijakan kecil untuk segera mencari empunya sang sinar mentari yang menyusup lancang. Lancang baginya karena selama ini ia hanya dapat melihatnya dibalik kepompong tempatnya bersembunyi. Sekarang, menggapainya hanya tinggal menunggu waktu. Sayap yang kokoh dan motif yang indah tidaklah terlihat buruk ketika dia berjumpa nanti.

Dahan itu bergoyang oleh angin, segera ia menjejak pergi menemuinya. Perjumpaan pertama dengan silaunya dunia juga menghampar luas daratan yang akan dijajaki, teruntuk taman bunga nan indah yang akan dia hinggapi. Sangat sungguh berbeda dengan nikmatnya daun hijau di sela-sela ranting pohon yang lembab. Dia takjub, berkedip sesaat menyambut mentari yang dia idamkan lalu meluncur perlahan menemui dunia barunya.

Lima bulan lamanya dari awal tahun semenjak ia memamerkan kilau sayapnya kepada dunia. Menikmati setiap jengkal kebun bunga elok yang tersedia baginya. Berselimutkan mentari dunia yang hangat ketika fajar menyingsing dan beralaskan kedua sayapnya ketika malam menjelang. Semua terjadi begitu sempurna, meniti perlahan setiap harinya, bercumbu mesra dengan keakraban universal. Berpeluk manja pada impian yang nyaman.

Namun kupu-kupu itu lupa, musim bisa berganti, mentari tidaklah suatu asa yang mengulurkan tangan untuk membantunya terbang. Mentari dapat menjadi fatamorgana ketika kau tidak siap bila musim berganti, mentari hanyalah hampa sesaat ketika dia tertutup setumpuk awan jenaka yang sedang melintas dan mentari hanyalah lentera pagi yang tidak dapat menghangatkanmu sepanjang hari di saat kamu membutuhkannya.

Kupu-kupu nan cantik itu terlena, tak sanggup ia ketika musim berganti. Tak lagi biasa ia dengan sang ulat yang melata manja di tempat lembap hingga berbinar ia ketika menemukan mentari. Ia menyalahkan dirinya.

Hilangnya mentari ia lalui, berbalut sayap dan mencari tempat berlindung.

Kenapa dulu aku begitu memujanya?

Kenapa dulu aku begitu bergantung padanya?

Kenapa dulu aku ta biasa terbiasa tanpanya?

Tak ada lagi hangat mentari baginya, angin hanya mampu menerbangkannya ke tempat ta jelas berujung nun jauh disana, ladang bunga nan elok hanya bisa membuatnya kenyang, juga kelamnya malam hanya bisa memberinya beribu bintang tuk dipandang.

Ia hanya bisa berlindung, berharap sang mentari mulai muncul lagi menghangatkan sayapnya. Berharap awan jenaka itu mulai menyingkir dari pandangannya yang mulai gelap. Hingga ia dapat menengadah mendekap mentari baru yang akan menyingsing kepadanya.

Sembari berteman ia dengan angin berharap semilir lembutnya membawa ke ujung penuh harap.

Sembari berteman ia dengan ladang bunga itu berharap mereka memberinya kekuatan pada sayapnya agar makin kokoh

Sembari berteman ia dengan langit malam berharap beribu bintang disana memberikan keindahan lebih pada harinya.

 

Tulisan ini telah dikunjungi sebanyak 1 kali, 199 diantaranya adalah kunjungan hari ini.