Kisah Shinta dan Kenapa Aku Benci Jatuh Cinta

“Parah banget, Anggaaaaa. Sedih banget. Mas Slamet pagi ini mau ke Semarang, pindah kerja ke sana. Sedih banget. Parah banget :(((((((. Pokoknya ntar malem teleponan, ya.”

Enam menit lagi, jam di ponsel, menuju pukul sembilan. Aku baru bangun dan memabaca chat Whatsapp dari Shinta, bukan teman kantorku yang dulu. Setiap hari, begitu bangun, aku biasanya menghabiskan waktu lebih dari setengah jam untuk bermalas-malasan, ngopi, sambil membalas chat-chat yang masuk ketika aku tidur. Entah kenapa banyak sekali orang yang bertanya tentang Nella Fantasia pada dini hari. Dan pagi ini, di antara chat tentang dagangan, aku menyimak kisah cinta Shinta.

Dua tahun kenal Shinta, ini bukan kali pertama aku mendapatinya jatuh cinta. Jika kelinci dapat melahirkan lima kali dalam setahun, maka Shinta dapat melakukannya lebih banyak dalam hal asmara. Tapi yang dia rasakan kali ini beda, saya kira. Jajaka Bandung, postur tinggi, programmer, tak hanya rajin Sholat lima waktu (harus plus Dhuha dan Tahajud), baik, tidak genit, dan kocak, adalah ciri lelaki dambaan Shinta, dan Mas Slamet, pria yang membuatnya sedih pagi ini, adalah yang terfavorit dalam dua tahun terakhir. Atau malah mungkin dalam sejarah percintaan Shinta. Mas Slamet hanya tidak kocak saja, selebihnya pas. Memenuhi 90% kompetensi yang diharapkan. Lebih dari cukup.

Dulu, di tiga bulan awal perkenalan kami, dia jatuh cinta pada seorang lelaki — yang tidak boleh disebutkan namanya karena bagian dari inner circle. Hubungan mereka kandas karena ke duanya menyadari berbeda agama. Lelaki yang satu ini berhasil membikin Shinta menangis dibakar cemburu. Naasnya, saya yang ketiban sial karena harus mendengar Shinta menangis-nangis tidak jelas via telepon. Dua kali. Drama sekali.

Setelah hubungan itu ada beberapa pria dengan nama yang sama — beneran lho ini, kok bisa ya namanya sama semua — yang datang bergantian ke kehidupan Shinta namun berujung pada kegagalan juga. Ada yang disebabkan posturnya kurang tinggi, ada yang mata pencahariannya dianggap Shinta kurang dapat menghidupi, ada yang karena usianya terpaut terlalu jauh, ada yang karena sombong, dan lain sebagainya. Ada banyak varian penyebab Shinta gagal cinta, namun yang terakhir ini, dengan pria yang membuatnya bersedih sepagi ini, menurutku, penyebabnya adalah gengsi.

***

Shinta mengenal Mas Slamet melalui Ijah, sahabatnya. Seperti biasa, Shinta selalu jatuh cinta pada cerita pertama. Ijah banyak berkisah hal baik tentang Mas Slamet. Sehari setelah mereka bertemu mata, Shinta memutuskan pindah kost-kostan. Dia tinggal 1 kamar kost dengan Ijah, berbagi tempat tidur. Sementara kamar kost Mas Slamet ada di sebelahnya. Setelah perpindahan itu, hubungan mereka menjadi lebih dekat dari hari ke hari. Shinta sering tidak fokus bekerja karena ingin cepat-cepat pulang.

Bulan demi bulan berjalan, hubungan mereka semakin hangat. Namun api yang menghangatkan itu justru membakar hubungan mereka karena tidak dijaga dengan baik. Tidak ada salah satu dari mereka yang benar-benar menyatakan perasaannya. Tidak mesti pacaran, kan, kalau takut haram. Bisa yang lain juga, taaruf, misalnya. Atau apalah kalian memberi namanya. Tapi ini sama sekali tidak. Hubungan memang berjalan, melangkah ke depan, tapi di lintasan yang melingkar. Berputar di situ-situ saja.

Api asmara yang menghangatkan itu mereka pelihara dengan gengsi. Tidak padam, namun tidak jelas apa gunanya. Ada rasa serta cemburu, namun tidak tahu ke depannya. Saling merasa tahu perasaan masing-masing, saling menaruh harap, tapi tidak pernah tahu yang sebenarnya.

Hingga suatu hari, Shinta, memutuskan untuk mengundurkan diri dari kantor, dan ketika mendengar kabar itu, anehnya, Mas Slamet bergeming seakan tidak terjadi apa-apa. Dari hati yang paling dalam, aku rasa, Shinta ingin mendapati wajah Mas Slamet merah menyala, galau, dan berusaha menahannya pergi. Shinta kecewa karena ternyata Mas Slamet biasa saja. Hari-hari kemudian Shinta selalu bilang padaku sudah biasa-biasa kepada Mas Slamet. Bahkan Shinta sempat bilang selama ini juga biasa-biasa saja. Halah. Kekecewaan membuat kita mudah menyangkal perasaan.

***

Pagi ini, Shinta dan Mas Slamet keluar kost- kostan bersama. Shinta ke kantor barunya, Mas Slamet mencari taksi menuju Halim untuk bertolak ke Semarang. Walau kerap berujar tak lagi menaruh rasa pada Mas Slamet, walau seringkali menyangkal, perasaan tak bisa berbohong. Shinta sedih. Aku rasa Mas Selamet juga demikian namun tidak ditampilkan di hadapan Shinta. Mungkin nanti, di pesawat, Mas Slamet juga ngewhatsapp Angga yang lain, berkisah tentang kepedihannya.

Mereka berdua sama sekali tidaklah salah. Cinta sama seperti perang, tidak ada salah dan benar. Masing-masing kubu membela kepentingannya masing-masing. Semua punya alasannya masing-masing untuk saling membunuh, menyandera, atau gencatan senjata. Untuk saling menyimpan rasa, berharap, kemudian menyangkalnya.

Aku tau rasanya jadi Shinta. Suka tapi gengsi, alhasil ditinggalkan. Pernah juga, suka namun ditolak. Pernah juga menyesal menolak orang lain. Pernah pula sama-sama mencinta, kemudian sama-sama pergi karena benci, namun tak menemukan yang lebih baik setelahnya. Namun aku masih berutung karena belum pernah — dan tidak mau merasakannya — ditinggal mati oleh orang yang aku cintai. Jangan sampai. Aku egois, lebih baik meninggalkan ketimbang ditinggalkan.

Memberi saran orang yang sedang jatuh cinta dan patah hati adalah kesia-sian. Ingin sekali menasihati Shinta: “sudahlah, Shin, nanti juga jatuh cinta lagi. Percayalah.” Kalimat yang selalu aku bisikkan ke telingaku sendiri ketika patah hati.

***

Melalui cerita ini, pagi ini, aku seakan kembali diingatkan untuk tidak jatuh cinta lagi. Ah, naif sekali. Munafik sekali saya ini. Tapi memang begitulah adanya.

Seperti halnya Shinta dan tiap manusia di penjuru bumi, aku pun pernah dan sering jatuh cinta untuk kemudian gagal. Sampai bosan malah. Hal yang kaya gini ini yang membikin saya ogah bercinta-cintaan lagi, setidaknya sampai detik ini.

Aku pernah tergila-gila pada satu orang, namun tetap bermain mata dengan yang lain, lalu marah karena dikecewakan, dan sedih ketika ditinggalkan. Kemudian lanjut ke hubungan yang lain, dan merasakan hal yang sama lagi. Begitu terus dari satu hati ke hati yang lain, seakan semuanya hal baru. Seakan baru kali ini aku tergila-gila, baru kali ini aku marah besar, baru kali ini aku kecewa dan sedih. Padahal itu untuk kesekian kalinya aku merasakannya.

Kini, aku sudah punya kemampuan yang lebih baik dalam mengontrol hati. Punya sensor yang lebih peka memindai mana yang berpotensi lanjut dan mana yang tidak. Dapat membedakan rasa suka yang benar-benar dari hati yang paling dalam dan mana yang hanya kekaguman sesaat saja. Eh, tidak, tidak, salah. Justru sensorku semakin buruk. Kontrol diri dan hatiku semakin buruk.

Kalau dulu semua-muanya aku anggap jatuh cinta, aku jalani, lantas gagal, sekarang malah sebaliknya. Alih-alih dapat membedakan serta memilih yang tepat, yang ada saat ini aku malah menganggap semuanya hanya nafsu semata. Kekaguman sesaat. Tiap kali suka, aku langsung menekankan ini hanya sesaat, lantas mundur perlahan. Aku sudah malas membuang waktu, mengulang lagi dan lagi, perasaan yang sama pada orang yang berbeda. Kaset baru lagu lama.

Aku ogah jatuh cinta lagi.

*Jika ada kesamaan nama dan cerita pada tulisan ini, saya pastikan hanya kebetulan belaka.*

Tulisan ini telah dikunjungi sebanyak 1 kali, 1,218 diantaranya adalah kunjungan hari ini.