Ghibah Dua Babak. Tiga Teman & Badut yang Pendendam
BABAK PERTAMA
“Kok lo gak cerita sih Men pas makan kemarin? “
Jam 11 malam Minggu, Hepi ngechat begitu.
Dia ternyata baru saja bertemu Tyan, teman SMA kami. Rumah mereka berdekatan tapi belum sempat untuk bertemu, nah Malam Minggu kemarin itu mereka makan bareng. Di tengah-tengah obrolan, si Tyan membuka percakapan terkait gue.
“Ceking apa kabar, Py?”
“Baik-baik aja, baru kemarin makan bareng dia”
“Oh ya, katanya si Ceking lagi ribut-ribut sana XXX ya?”
“Hah, kok gue gak tau? Dia ga cerita.”
Berdasar cerita Hepi, bahkan bukan Tyan yang menjelaskan duduk perkara dugaan bahwa gue yang sedang ribut-ribut dengan salah seorang teman, melainkan kekasih hatinya Tyan yang secara garis besar bercerita ke Hepi, sembari menunjukan barang bukti berupa tulisan blog dan Instagram.
Seru ya ternyata, kekasih hatinya Tiyan lebih tahu salah satu isi blog gue ketimbang Hepi yang sudah gue kenal sejak TK.
Ada yang salah? Sama sekali enggak.
Justru menunjukan, ya memang begitulah gue dalam berekspresi: Sangat ekspresif dan cenderung reaktif, tapi tidak pernah memaksa dan berharap satu orang pun untuk memperhatikan dan menilai ekspresi tersebut.
Mungkin lebih tepat menyebut diri gue ini sebagai seorang pencerita di ruang hampa.
Banyak yang gak tau, gue sering ngomong sendiri kayak orang gila. Semata-mata karena gue, entah kenapa, kok kayak seneng aja bercerita. Saat lagi nyetir mobil atau motor, atau bersepeda, atau mandi, gue sering ngomong sendiri. Monolog.
Dan ada suaranya lho, bukan ngomong dalam hati. Lebih-lebih ketika gue melihat prilaku orang lain yang menurut gue engak pas, pasti gue langsung monolog.
“Kamu itu nanti kalau ketabrak, jatuh, terluka, lalu biaya berobatnya pake apa? Kasian keluargamu yang menunggu di rumah”
Salah satu contoh kalimat monolog yang biasa gue lontarkan di jalan ketika melihat pengemudi ugal-ugalan. Dan itu gue ucapkan dengan intonasi. Kadang dengan nada tinggi menghentak kalau kesel banget, kadang lembut seperti sedang menasehati.
Iya, gue suka ngomong sendiri kayak gitu. HAHA. Edan ya?
Tapi ada kalanya gue merasa perlu mengabadikan cerita-cerita yang ada di kepala, lalu cerita tersebut gue pajang di sosial media. Bisa IG, bisa Twitter, bisa Blog, bisa Youtube. Apa pun lah.
Biasanya gue mengabadikan cerita-cerita yang menurut gue menarik untuk dikenang beberapa tahun ke depan, atau cerita-cerita yang dirasa perlu diketahui oleh lain.
Ada kalanya juga gue merasa ingin seseorang atau sekelompok orang mengetahui cerita gue. Gue ingin orang-orang tertentu mengetahui isi kepala. Bila demikian, maka gue akan share (link) langsung ke mereka.
Seringkali juga gue menulis untuk mempermudah gue membagikan isi pikiran ke banyak orang dalam satu waktu dan energi. Daripada gue teleponin atau nyamperin orang satu per satu, mending gue tulis aja di blog/IG. Semua bisa baca. Hemat energi.
Nah, dalam hal ini, tulisan tentang tiga teman, hanya gue share di IG @cekinggita. Artinya, gue tidak berharap tulisan tersebut dibaca spesifik oleh seseorang atau sekelompok orang.
IG @cekinggita itu tidak ngefollow satu orang teman pun lho. Dan gue juga gak pernah publikasiin ke teman-teman yang lain bahwa gue punya IG itu dan meminta difollow. Gue selalu promosiin IG gue adalah @nf.nellafantasia.
Jadi ketika ngesharenya di IG Cekinggita ya gak berharap apa-apa.
Lalu, setelah gue ngeshare (link) tulisan, perkara apakah cerita gue akan dibaca atau tidak, akan disambut baik atau tidak, gue bodo amat. Bener-bener bodo amat.
Gue ngelawak, gak pada ketawa ya udah. Besoknya gue tetep ngelawak. Gue ngomongin bola, ga ada yang nanggepin ya udah. Besoknya gue tetep ngomongin bola. Gue bikin puisi, gak ada yang liat ya udah. Mau gimana lagi. Dan besoknya gue tetap berpuisi.
Apalagi dulu di Path, boro-boro ada yang ngeloved, bahkan banyak yang bilang sampah. Tapi ya udah, tetep aja gue ngoceh di Path. Sehari bisa lima kali malah.
Gue akan tetap bercerita – bercerewet ria, walau tanpa penonton, tanpa pendengar, tanpa pembaca, tanpa tanggapan, atau mungkin ada tanggapan tapi negatif, karena tujuan gue bukan untuk didengar atau mencari pendengar, tapi untuk bercerita.
Seorang pencerita di ruang hampa, hanya ingin bercerita. Dia tidak mencari yang lain.
Makanya tidak heran gue bisa rajin nulis blog, rutin ngoceh di Twitter, bahkan sekarang merambah video Youtube, padahal ga ada yang respons. Hahahahahaha.
Ada tuh beberapa video Youtube gue yang views cuma 5 orang, itu aja semuanya gue yang nonton pake 5 devices berbeda. HAHAHAHAHAHHA.
Tapi beda cerita kalau untuk urusan Nella Fantasia lho ya. Pasti gue ukur. Hitungannya promosi. Dagang tanpa caper, tanpa promosi, sama aja kayak kita pingin punya pacar tapi gak PDKT
Sedangkan bercerita yang untuk kebutuhan pribadi sebagai manusia, gue murni cuma ingin ngoceh, baik dalam bentuk tulisan dan video. Gak pake diukur. Mengalir begitu saja.
Oh ya, gue gak bisa dan gak suka bercerita melalui foto. Menurut gue terlalu banyak tipu daya di foto. Makanya gue jarang pamer foto. Jarang mengabadikan momen dengan foto-foto. Lebih mending gue tulis ulang atau gue rekam video. Lebih jujur, runut, dan jelas.
Pada foto, kita bisa senyum di depan makanan, menggandeng mesra tangan pasangan, padahal sebelum dan sesudahnya murung. Foto cocok untuk promosi yang membutuhkan kepura-puraan agar tampak menarik. Sementara yang gue butuhkan adalah bercerita apa adanya tentang pikiran gue dengan runut dan jelas. Makannya di IG yang srharusnya untuk memajang foto, malah gue pajang tulisan dan video.
Oh ya, bahkan gue sekarang mulai berani bercerita melalui puisi di depan umum, walaupun puisi gue lebih mirip seperti orang yang sedang bercerita. Lugas dan tegas. Sebetulnya itu bukan puisi banget.
Tahun 2020 ini makin banyak orang yang gak mengerti puisi. Puisi itu ekspresi diri yang disampaikan melalui tulisan puitis yang isi pesannya samar-samar.
Puisi itu membunyikan hal-hal tersembunyi dan menyembunyikan hal-hal yang berbunyi. Tidak gamblang. Tidak ada puisi yang gamblang, yang pesannya mudah dipahami,
Contoh: untuk menggambarkan malam hari, penyair akan menulisnya dengan “langit berwarna coklat, tidak lagi sebiru kemeja berbau peluh yang kukenakan sedari pagi.”
Selain itu, menulis puisi juga ada tekniknya. Ada teorinya. Yang salah satunya kita kenal sebagai majas.
Tapi masalahnya, majas yang kita kuasai cuma sinisme, sarkasme, personifikasi, hiperbola. Udah seputar itu-itu aja. Lalu perbendaharaan kata yang dimiliki juga sedikit banget akibat kurang membaca.
Alhasil manusia 2020 cuma bisa menulis 2-3 baris, dengan akhir kalimat diberi rima AABB atau ABAB, tapi menganggapnya sebagai sebuah mahakarya Puisi, yang padahal lebih mirip Caption IG.
Bahkan ada yang lebih menggelikan lagi. Caption IG berisi petuah basi bersanding dengan foto selfie. Busettt.
Tidak ada penyair legendaris yang terang-terangan menjadikan wajahnya sendiri sebagai objek cover puisinya. Pelukis kondang tidak melukis wajahnya sendiri, dan fotografer tidak memotret wajahnya sendiri.
Lha Ini teman gue, laki-laki 30 tahun, foto selfie lalu disandingkan dengan kata-kata bijak hasil copy-paste, lalu dishare ke grup. hahaha. Maksudnya apaaaa? Kita disuruh ngeliat objek foto yang gak sedap dipandang dan membaca petuah yang udah ribuan kali kita denger denger?
Penyair zaman dulu nulis puisi berlembar-lembar dengan bahasa puitis dan makna yang sama-samar. Untuk mempercantik buku puisinya, dia kolaborasi dengan pelukis yang akan menggambarkan isi puisi tersebut dengan imjainasinya.
____
Oh ya, balik lagi ke cerita Hepi.
Gue gak cerita ke Hepi tentang tulisan Tiga Teman karena gue enggak merasa harus ada seseorang atau sekelompok orang yang mengetahui/membaca tulisan tersebut.
Termasuk orang-orang yang gue sebut di tulisan itu, termasuk juga teman-teman di circle, termasuk ketika ada 2 orang teman yang japri ke gue untuk menanyakan langsung. Gue menolak untuk menjelaskan.
Bukan bermaksud sombong, tapi emang karena gue gak cerita ke siapa-siapa.
Gue gak merasa perlu bercerita lebih detil ke satu orang pun. Gue gak berhutang penjelasan ke siapa pun. Gue hanya mau bercerita dan hanya akan menceritakan hal yang gue mau. Tidak lebih, tidak kurang.
Dan karena gue pencerita di ruang hampa, gue juga jadinya tidak menggubris efek dari cerita gue.
Begitu selesai bercerita, gue akan tinggalkan semua cerita tersebut dengan segala kenanganya, untuk kemudian beralih ke cerita-cerita berikutnya.
Makanya gue terkesan juga begitu mengetahui ada teman-teman yang ternyata menaruh perhatian pada tulisan-tulisan gue, khusunya dalam hal ini cerita tentang Tiga Teman. Gue jadi berasumsi di luar sana ada tanggapan dan kesan yang lahir dari teman-teman lainnya, lebih-lebih yang merasa sebagai subjek cerita.
Oh ya, tapi ada juga cerita yang memang gue sampaikan dengan tujuan agar pihak lain membacanya. Kalau gue ingin cerita gue didengar pihak lain, pasti gue share (link) langsung ke orang/kelompok tersebut.
Tapi tetep aja, gue bodo amat juga atas tanggapannya. Apa pun tanggapannya, ada atau tidak, besok-besok pasti lanjut bercerita lagi. Ga akan berenti atau kapok.
Sekali lagi, tujuan utamanya bukan untuk didengar atau ditanggapi. Tujuan utamanya untuk bercerita.
___
Dari kisah Hepi yang tidak tahu menahu cerita Tiga Teman ini, bisa terlihat sebetapa bodo amatnya gue dalam bercerita. Gue gak merasa orang-orang terdekat butuh tau cerita gue, apalagi orang lain yang tidak begitu dekat. Dan gue juga ga peduli kebisingan-kebisingan apa yang terjadi di belakang, karena toh gue cuma bercerita.
Ya setidaknya gue bercerita di muka. Tidak di belakang. Jadinya kalau ada yang tidak suka atau tidak setuju, bisa langsung menanggapi. Tidak bersembunyi berbicara di belakang. Bukan gue banget.
Bila ternyata masih ada yang berspekulasi gue menyimpan dendam, nyari perkara, atau apa pun itu, ya udah gapapa. Biarlah spekulasi tetap menjadi spekulasi. Di situ letak menariknya.
Kalau di gue, begitu sebuah tulisan rilis, semua energi dan ingatan terkait akan rilis juga bersamaan. Hilang. Mungkin bisa diandaikan seperti curhat. Selesai curhat langsung plong.
Kemudian setelahnya berganti ke cerita lainnya lagi, yang baru. Tidak berkutat di hal-hal itu saja.
—————
BABAK KEDUA
Gue punya teman, seorang badut. Sama seperti gue, tapi bedanya dia pendendam dan ga masuk akal.
Gue menulis Tiga Tema atas dasar akumulasi kejadian yang gue pendam. Dari observasi dari hari ke hari yang gue tumpahkan dalam wujud 1 tulisan.
Ibaratnya, gue ditimpuki berkali-kali, eh giliran gue bales sekali, dia tersinggung. Dia ngomongin gue di Twitter, pakai akun alter, terus-terusan dan gue selalu diam. Ga menanggapi.
Eh giliran sekalinya gue bales pake tulisan panjang, eh dia mengganggap gue keji. Lah.
Kemudian teman gue yang badut ini merasa bahwa gue adalah sosok yang emang layak tidak disukai banyak orang karena sifat jeleknya. Berbeda dengan dia yang disukai banyak orang. Haha.
Gue hanya ngomong jujur, berpendapat, bercerita. Bahwa akhirnya membuat banyak orang tersinggung, ya wajar. Tapi setidaknya gue jujur di muka.
Daripada belagak manis di muka, banyak yang senang, tapi pada gak tau aja kalau selama ini diomongin di belakang. Zzz. Iblis tuh ya gitu itu. Menghasut di belakang, ngoceh di kejauhan, pas berdekatan berganti jubah seperti malaikat.
Gue gak mengatakan bahwa cara gue benar. Tapi emang gue tipikal orang yang akan ngomong gak suka dan ngatain orang di muka, blak-blakan, tapi ketika berpapasan tetep gue sapa. Tetap gue ajak ngobrol. Gue ajak main ke rumah, kalau perlu gue tawarin menginap, dan bahkan gue traktir makan.
Teman gue yang badut ini sering ngomongin gue di sosial media. No mention. Pakai akun alter yang gak alter-alter banget karena ada teman lainnya yang follow dan tahu. Jadi sebetulnya itu bukan akun alter.
Dengan akun agak alter itu dia membuat publik opini, menyudutkan, memberi kesan negatif tentang gue. Wajar gak kalau gue risih?
Karena gue risih, gue block akun dia, eh trus dia bilang gue keji. Lah? Kenapa jadi gue yang keji? Ga salah?
Berkali-kali gue diomonging dan cuma diem aja. Sekalinya gue bales, malah dia nganggep gue lebih menyeramkan dari setan -_- Aneh.
Dari semenjak gue nulis tentang Tiga Teman sampai dengan tulisan ini dibuat, gue udah gak pernah bahas-bahas lagi topik ini. Gue lupakan begitu aja. Eh dia masih aja ngoceh tentang gue. Buset. Kirain setelah disentil balik jadi sadar, bahwa gue ngeblok akun dia tuh karena risih. Eh ini malah makin menjadi-jadi, dari hari ke hari. Apa gak bosan?
Udah gitu ya, dia berdalih menyebut dirinya introvert yang menyebabkan dia gak luwes saat berjumpa tatap muka. Dia bilang, orang introvert sering dikira sombong. Dia mengglorifikasi introvert. Hahahahaha.
Begini ya, kalau bisa ngomongin orang yang jelek-jelek di sosial media tapi di kehidupan nyata pas ketemu cuma diem aja, itu mah bukan intovert. Itu mah pengecut dan pendendam. Beraninya ngoceh di belakang. Dari Jauh. Menghasut. Itu bukan introvert. Itu Jahapp.
Gimana ceritanya, lo nimpukin orang dari jauh, terus-terusan, lalu orang itu membangun tembok pelindung dan pembatas, eh malah ngatain dia keji. Lalu ketika orang yang dia timpukin itu berusaha ramah di kehidupan nyata dan si badut ini malah diem aja, eh alesannya introvert. Ga masuuuuk, Kak!
Itu mah canggung aja karena ada perasaan tidak enak dalam hati.
Ngomong langsung, selesaikan, lupakan, kemudian berinteraksi lagi seperti sedia kala. Begitu, saya kira, cara menyelesaikan prasangka di anak usia 30 yang sudah mengenal sejak lama. Atau kalau tidak mau berbaikan, ya ga usah terus-terusan bikin opini macam-macam di soial media. Nanti disentil lagi, malah playing victim. Uopoo hari gini dramaaaaaa.
Temen gue yang badut ini masih aja terus-terusan bahas dari hari ke hari. Bilang gue keji. Membuat kesan dia terzolimi. ZZzzz. Entah kapan capeknya.
Sekarang jam 15.10 hari Minggu, gue selesai menulis ini.
Teman-teman tau gak, gue berpikir dalam-dalam, mencari topik yang dapat membuat teman-teman penasaran dan berlama-lama di sini. Soalnya gue baru daftar adsense. Makanya sekarang blog gue ada iklannya. Setiap kunjungan kalian, bernilai rupiah untuk gue. Hehe.
Maap ya membuang waktu kalian. Makasih banyak ya. Tadi itu semua dongeng. Fiktif
Image badut gue ambil dari ini https://tinyurl.com/vb2982v