Kebiasaan
Pernah ada suatu masa di mana mata saya otomatis terbuka setiap pukul empat pagi. Kejadiannya 13 tahun silam ketika saya masih di asrama. Di sana, setiap hari Senin sampai Sabtu, aktivitas dimulai dengan mandi pagi pada pukul empat, setelah itu doa pagi bersama. Jam 5 kami semua sudah harus masuk ke kelas untuk jam belajar pagi selama satu jam, lalu lanjut sarapan trus berangkat ke sekolah.
Seingat saya, setiap Hari Selasa dan Kamis, doa pagi diganti menjadi Misa Pagi. Misa pagi memakan waktu jauh lebih lama dari sekadar doa bersama, jadi bila ada Misa Pagi maka jam belajar pagi ditiadakan. Selesai Misa, kami langsung sarapan dan ke sekolah. Kami baru bisa bangun lebih siang, jam 5 pagi, di Hari Minggu karena tidak ada jam belajar pagi. Di Hari Minggu kami hanya wajib ke Gereja (berangkat setelah sarapan), setelah itu jam bebas sampai dengan jam empat sore. Bebas yang tidak bebas-bebas amat karena sebetulnya kami hanya diizinkan berada di luar asrama sampai jam makan siang saja. Bebas dalam artian kami bisa main, mencuci, pacaran, dll, di dalam asrama. Tidak ada kegiatan wajib. Tapi, ya, namanya juga anak asrama, sering-sering kami baru pulang menjelang makan malam. Bahkan tidak ke Gereja. Kabur, Cuy! Hehe.
Masih banyak rangkaian kegiatan lainnya yang mesti kami patuhi selama tiga tahun di sana, dan itu membuat saya menjadi terbiasa. Bukan hanya mata yang terbiasa bangun subuh, tapi perut juga pasti sudah kasih sinyal kriuk-kriuk kelaperan menjelang setengah 2 siang, badan minta direbahkan tatkala malam sudah menginjak pukul 10, dan masih banyak lainnya. Saya yang dulunya makan tidak teratur, tidur semaunya, bahkan jarang berdoa dan ke gereja, semuamuanya itu hilang ketika di asrama. Alasannya sederhana: Kebiasaan. Semua telah menjadi kebiasaan.
Kini hanya beberapa saja yang masih bertahan karena setelah keluar dari asrama, saya punya kebiasaan-kebiasaan lain. Rutinitas saat sudah kuliah berbeda jauh dengan saat masih di asrama. Begitu juga ketika saya mulai kerja pertama kali, lalu pindah ke kantor yang ke dua, dan kini punya dagangan sendiri, semuanya punya kebiasaannya masing-masing. Berangkat dari pengalaman-pengalaman ini saya jadi percaya bahwa untuk terbiasa akan suatu hal, kita memang hanya perlu melakukan hal tersebut berulang-ulang dan rutin selama 21 hari. Saya terapkan itu, dan benar adanya.
Kini saya juga sudah terbiasa hidup tanpa memikirkan perkara asmara. Tepatnya sudah setahun terakhir, sejak Juni 2015. Kalau dulu, behhh, boro-boro. Saya seperti tak bisa hidup tanpa asmara. Bahkan bisa dibilang, saya tak bisa hidup tanpa 2-3 asmara dalam waktu bersamaan, alias genit sana-genit sini. Kebiasaan tersebut dimulai sejak SMA, dan grafiknya naik turun hingga akhirnya berhenti di pertengahan tahun lalu. Maksudnya, kadang satu asmara, kadang dua, kadang tiga, lalu balik jadi dua, kemudian naik jadi tiga, trus tiba-tiba jadi satu asmara lagi, tapi tak lama kemudian jadi dua lagi, begitu seterusnya.
Ada greget yang hilang bila dalam satu waktu saya tidak sedang memburu asrmara, atau sebaliknya, tidak diburu asmara. Saya mudah merindukan aura-aura adrenalin terpacu ketika mengetahui ada perempuan yang sedang menaruh perhatian ke saya. Saya, dulu, tidak suka kesepian. Tidak suka hidup tanpa ada perhatian dari perempuan. Dulu. Dulu sekali. Itu semua bukan karena saya genit, maniak, atau apapun, tapi karena kebiasaan. Beneran lho ini, bukan pembelaan. Memang karena kebiasaan aja. Buktinya sekarang sudah tidak lagi.
Apa saya salah? Mungkin. Tapi yang pasti itu bukan cuma saya yang merasakan. Kamu pikir memangnya kenapa ada orang yang pelarian, ada yang bisa cepet banget dapat pengganti begitu putus dari pacarnya, ada yang ga bisa berlama-lama menjomblo? Ya karena sudah kebiasaan. Terbiasa ada orang lain di sisinya, terbiasa ada orang lain yang menaruh rasa, menaruh hati, dan juga birahi. Kebiasaan.
Menurut saya, satu-satunya cara untuk menghilangkan kebiasaan adalah dengan menggantinya dengan kebiasaan lainnya. Lalu dalam hal asmara bagaimana? Entahlah. Saya juga tidak tahu. Walau sekarang saya bisa dengan lantang menyebut diri ini sudah tidak lagi terperangkap oleh rutinitas asmara, tapi sejujurnya saya juga tidak tahu bagaimana cara menghilangkannya.
Kalau di saya, diawali dari pikiran. Saya benar-benar menanamkan dalam kepala bahwa asmara tidak lagi jadi prioritas. Bahkan sudah tidak ada dalam daftar. Jadi, mau tidak mau, ya saya tidak lagi mikirin soal asmara. Dan ini sudah berlangsung selama setahun terakhir, dan entah mau sampai kapan.
Tidak jarang saya ingin kembali masuk ke kebiasaan itu, tapi bingung hendak memulai dari mana. Setiap mau mulai, ada-ada saja yang bikin saya malas. Tentu perkara profil saya juga mempengaruhi. Perempuan mana yang bisa jatuh hati pada saya yang saat ini? Pertanyaan ini yang sering terlintas tiap kali ingin merayu. Selain itu, saya juga sudah malas sama yang namanya drama. Iya, drama.
Perempuan matre memang menyebalkan, tapi setidaknya kamu bisa taklukkan dia jika kamu punya materi. Bekerjalah yang keras, materi bisa kamu peroleh. Perempuan sensitif, perempuan manja, perempuan egois, atau perempuan jenis karakter apapun masih bisa kamu tangani, karena memang tersedia banyak cara untuk menghadapi perempuan.
Tapi… Sekali lagi, tapi… Perempuan deramah adalah pengecualian. Anggap saja kamu bisa ikutan main drama, tetapi, percayalah, itu hanya membuang-buang waktu, tenaga, dan menyiksa hati saja.
Salah satu hal yang membuat saya risih hingga saat ini adalah pengalaman menjalin hubungan dengan perempuan deramah. Sekitar dua tahun yang lalu saya sempat terbiasa hidup bergelimang drama. Deramah sana, deramah sini. Melelahkan sekali. Terlebih waktu itu saya mendapat lawan main yang sangat piawai memainkan perannya.
Saya tampak seperti pria yang mengejar-ngejar dan sangat posesif hingga para penonton membenci saya. Dan semakin benci lagi ketika akhirnya hubungan kami berakhir, karena ternyata dia masih saja berdrama ria, menampilkan sosok Anggara yang mempermainkan dia sedemikian rupa, padahal, oh, sungguh, saya malah tidak tega membeberkan apa yang terjadi di belakang panggung.
Dulu, dulu sekali, saya sampai berdoa agar cepat terbebas dari kebiasaan itu.
Sekarang sudah bebas, memang, tapi rasanya masih meninggalkan bekas.