Kebetulan yang Terlalu Sering
Suatu hari, sewaktu masih bocah, saya pernah berandai-andai, begini:
Bagaimana ceritanya ya seandainya Pak Tarzan, pelawak Srimulat itu, menjadi peserta kuis di televisi, dan kemudian mendapat pertanyaan yang jawabannya adalah Tarzan yang sang penguasa rimba.
Khayalan yang aneh, ya namanya juga masih bocah. Saya benar-benar penasaran, apakah Pak Tarzan tahu bahwa ada orang lain di luar sana yang memiliki nama seperti dia. Saat itu saya juga penasaran, apakah artis Haji Bolot benar-benar tidak dapat mendengar, dan artis Tompel benar-benar gagap?
Ternyata tidak lama kemudian, hal yang saya bayangkan itu terjadi. Benar-benar terjadi, dan sama persis.
Pak Tarzan menjadi peserta sebuah acara kuis di TV, dan berhasil menjawab pertanyaan, siapakah manusia yang dalam cerita fiksi menjadi penguasa rimba. Semua peserta, pembawa acara, dan penonton di studio saat itu tertawa geli karena Pak Tarzan menyebut nama Tarzan sebagai jawaban.
Di hari yang lain, saya mengantar pacar (sekarang sudah mantan) pulang ke rumahnya. Begitu turun dari kendaraan, selalu dia akan langsung berbegas menuju kamarunya untuk menelepon saya. Kami selalu berbincang melalui telepon dalam perjalanan pulang dari rumah dia.
Saat itu, dalam perjalanan pulang, entah kenapa saya tiba-tiba bertanya.
“Di rumah ada siapa?”
“Ada mama sama adek.”
“Ooh, udah pada pulang.”
“Iya, baru aja nih.”
“Oh ya, kalau mama kamu gak suka sama aku gimana ya?”
“Hmm.. gak tau deh. Kayaknya biasa aja. Emangnya kenapa kamu tiba-tiba nanya gini?”
Lalu terjadilah. Selang tiga hari kemudian ibunya pacar saya mulai menunjukkan gelagat tidak menyukai keberadaan saya.
Oh ya, mantan saya yang ini paling khawatir kalau saya mulai bicara yang tidak-tidak. Bicara yang negatif-negatif. Sudah sering kejadian, hal yang tiba-tiba terlintas di pikiran, kemudian saya ucapkan, eh, malah beneran terwujud.
Silakan tanya ke orangnya langsung kalau Anda tidak percaya.
Lain lagi ketika di asrama. Saya beberapa kali dibuat kesal oleh teman sekamar. Ada yang mengganggu saya tidur, ada yang mencuri makanan dari lemari saya, atau bahkan cuma sekedar pelit berbagi makanan atau maruk ketika bermain bola.
Kesemua dari mereka yang membuat saya kesal, keluar satu per satu dari asrama. Entah dikeluarin (drop out), atau mereka sendiri yang mengundurkan diri, dengan alasan yang tentu saja tidak ada sangkut-pautnya dengan saya.
Intinya saya merasa setiap orang yang membuat saya kesal, entah kenapa pasti pergi jauh dari saya. Sebagian dari mereka masih berteman dengan saya sampai saat ini. Bahkan akrab. Oleh karena itu saya enggan menyebut nama mereka di sini.
Hal seperti ini tidak hanya terjadi ketika saya di asrama. Di kantor pun demikian. Baik di perusahaan tempat saya bekerja yang dulu, maupun yang sekarang, ada-ada saja kolega yang tiba-tiba resign setelah sempat membuat saya kesal.
Tapi pernah juga suatu hari, saya dibuat kesal oleh salah seorang kolega, lalu alih-alih dia mengudurkan diri, eh, malah saya yang dipindahkan ruangannya oleh si bos. Saya tiba-tiba dirotasi pindah divisi sehingga saya tak lagi satu ruangan dengan orang tersebut.
Dan tentu saja alasan perpindahan ruangan maupun pengunduran diri yang terjadi selama ini tidak ada sangkut pautnya dengan diri saya. Murni keputusan bisnis belaka tetapi anehnya terjadi tidak lama setelah saya kesal dengan orang-orang tersebut.
Mungkin inilah yang menyebabkan saya berusaha sekali untuk tidak marah atau kesal kepada orang lain. Saya sampai pada titik percaya bahwa orang yang membuat saya kesal akan pergi menjauh dari sekitaran saya, tapi dengan cara yang “halus”. Fiuh..
Ada juga kisah yang lain. Tiga wanita terakhir yang (sempat) dekat dengan saya, selalu diawali dengan cara yang aneh, namun berulang.
Wanita pertama. Dia anak baru di komunitas yang saya geluti. Kami berjabat tangan, kenalan, lalu saya berbisik ke sahabat saya: “kayaknya boleh nih.” Tidak sampai satu bulan setelah berkenalan, saya dekat dengan wanita itu, kemudian kami menjalin hubungan (agak) spesial berbulan-bulan.
Yang kedua, saya bertemu dengan seorang gadis di omprengan. Gadis ini menarik perhatian saya, tapi saya tidak punya nyali dan akal untuk berkenalan. Suatu malam, saya ceritakan hal ini kepada sahabat. Besoknya, gadis itu menghubungi saya via message facebook. “Hai, kak. Ini kakak yang sering saya lihat di omprengan kan ya? Saya mau tanya dong…..” Dua bulan kami intens berkomunikasi dan bertemu, lalu kandas.
Kemudian yang ketiga, jaraknya lebih lama. Maksudnya, jarak antara mulai berkenalan dan menjadi akrab. Kami rekan kerja, tapi tidak satu kantor. Bulan Februari, saya memberi dia coklat. Hari itu, setelah coklat saya berikan kepada dia, saya bercerita kepada salah seorang teman, “kalau gue bisa dapetin dia, gue bakal serius.” Bulan November di tahun yang sama, sampai Maret di tahun berikutnya, saya menjalin hubungan spesial (klaim sepihak dari saya. hehe) dengan wanita itu.
Masalahnya, tidak semua wanita yang saya sukai, saya ceritakan kepada teman. Dan, tentu saja, tidak semua yang saya sukai, lantas menjadi dekat dengan saya. Tiga wanita yang saya ceritakan di atas, memiliki kisah unik tersendiri.
Kejadian unik yang paling baru, terjadi di Hari Jumat yang lalu. Dalam perjalanan pulang dari kantor, tiba-tiba saya kepingin makan sate. Di omprengan, saya memutar otak untuk menentukan strategi apa yang hendak saya terapkan:
1. Turun dari omprengan, pulang dulu ke rumah, mandi, baru kemudian beli sate. Atau,
2.Turun dari omprengan langsung beli sate, baru kemudian pulang.
Akhirnya saya putuskan untuk pulang ke rumah terlebih dahulu, baru kemudian beli sate. Lalu sesampainya di rumah, saya lihat di atas meja makan ada plastik kresek warna hitam, dengan beberapa tangkai lidi yang menyembul di bagian atas plastik. Benar saja, setelah saya dekati dan buka, ternyata satu porsi sate kambing. Ibu membeli sate kambing karena belum sempat masak makan malam.
Hal seperti ini terjadi berkali-kali. Pernah juga pulang dari gereja sore, misalnya, tiba-tiba saya kepingin makan sate padang, lalu mampirlah saya ke penjual sate padang di pinggir jalan. Makan di tempat, lalu pulang. Setibanya di rumah, ternyata ibu membelikan saya sate padang. Nasi goreng, ayam KFC, nasi uduk + pete, dan masih banyak lagi makanan yang mengalami nasib serupa. Tiba-tiba saya inginkan, dan dengan ajaibnya, ibu membelinya saat itu juga.
Mungkin ini yang disebut dengan mestakung. Semesta mendukung. Atau bagian dari kebenaran teori dalam film The Secret. Kalau saya lebih suka menyebutnya: kebetulan. Kebetulan yang terjadi berulang kali. Berkali-kali. Sebenarnya, saya juga ingin menyebutnya sebagai kebaikan Tuhan. Tapi sepertinya tidak tepat, karena Tuhan tidak mungkin menyingkirkan orang-orang di sekitar saya, cuma gara-gara saya kesal. Saya tidak sehebat itu.
Tapi apapun itu, saya selalu bersyukur. Entah itu kebetulan, semesta mendukung, atau teori apalah itu namanya, selama terjadi dalam hidup saya, saya percaya pastilah atas persetujuan Tuhan.
Sa kira.
Deo Gratias.