Dik Azka dan Zodiak Percintaan yang Mengelilinginya
Tiba-tiba saja terjadi pertempuran hebat antara Long Distance Relationship (LDR) versus ramalan zodiak. Mana yang lebih takhayul dari keduanya? Begitu pikirku terus-menerus.
Di sebuah kedai kopi waralaba, aku duduk menunggu matahari memancarkan sinarnya lebih terik. Sial bagiku, jalanan hari itu lancar jaya. Hari belum pagi benar, aku sudah tiba di kantor. Lantai 23 tempatku bekerja, masih gelap dan terkunci.
Jangankan kantorku, kedai kopi yang sedianya buka lebih awal dari perkantoran pun masih setengah buka. Salah seorang mbak barista masih sibuk merapikan susunan gelas, memilah biji kopi, serta menyiapkan uang kembalian di meja kasir. Sedangkan di depanku, mas barista sedang mengatur susunan kursi dan meja yang belum sempat ia rapikan sebelum tutup kedai kemarin. Ke dua barista shift pagi itu mengizinkan aku duduk menunggu pagi walau kedai belum beroperasi.
Tidak sampai 15 menit, Azka datang. Dengan blazer dan celana panjang hitam yang membungkus kakinya dengan sempurna, Azka melangkah gemulai bak sedang berlenggak-lenggok di atas catwalk. Kacamata dengan frame tebal ditaruhnya di atas kepala untuk mengakali rambutnya agar tak tersapu oleh angin. Ia berjalan ke arahku.
Sementara itu Angga tetaplah Angga. Postur tubuh ideal, lihai memilah kata, serta sejumlah komunitas yang digeluti, tak membuatku mudah merasa nyaman untuk berhadap-hadapan dengan perempuan, terlebih yang secantik Azka. Entah kenapa aku selalu canggung. Aku kerap merasa sebagai lelaki yang tak pantas dilirik perempuan.
“Udah nyampe aja lo. Gue duduk sini ya?”
Aku cuma bisa mengangguk, sok cool. Azka meletakan tas ranselnya di atas meja, kemudian duduk di bangku yang berada di sampingku. Dia tidak duduk tepat di depanku karena tidak ingin membelakangi lobi gedung. Dari tempatnya duduk, ia dapat memantau siapa-siapa saja yang datang.
Matahari mulai meninggi, sinarnya perlahan merayap ke arah tempat kami duduk. Aku rasa matahari sengaja menjatuhkan cahayanya ke arah Azka. Rambutnya yang dicat merah, terlihat semakin berkilau. Perlahan cahaya itu meluncur ke bahunya yang ramping, kemudian merambat turun melalui kalung etnik yang menjuntai ke arah perutnya yang rata, lalu berputar-putar mengelilingi seluruh tubuh. Azka mendadak telihat seperti bidadari yang berselubungkan cahaya. Aku gemetar saja sambil terus berusaha curi-curi pandang.
“Lagi baca apa, Ngga?” tanya Azka sambil menunjuk majalah yang sedang kupegang.
“Ini? Majalah dewasa. Enggak, deng. Majalah politik, Ka.”
“Emangnya seru, ya, baca tentang politik?”
“Enggak juga, sih.”
Azka tersenyum manis, lalu mengeluarkan tas kecil berisi perlengkapan make up. Kantor kami memang mengharuskan staff perempuannya untuk bersolek. Dan Azka seharusnya mendapat pengecualian. Mengharuskan Azka bersolek sama saja menentang selera Tuhan. Seleraku tidak jauh berbeda dengan selera Tuhan.
“Macchiato buat dobel, ya,” Azka berteriak. Barista mengacungkan jempol. Aku cuma memaki di dalam hati. Kenapa tidak setiap pagi aku mendapat kesempatan ini.
“Ka, lo anak terakhir, ya?”
“Ngaco. Ga usah mulai sotoy.”
“Haha,” aku tertawa kecut.
“Lo gemini kan, Ngga?”
“Yoi. Kok tau?”
“Kebaca banget. Lo kan gitu, banyak yang bilang genit, padahal, mah cuma karena penasaran aja. Gemini itu kalo penasarannya udah lewat, langsung bosen. Gampang bosen. Lo gitu kan?”
“Bhahahaha. BANGET!”
“Mantan gue dulu gitu. Gemini itu lagaknya doang sok cuek, padahal, mah, pingin juga diposesifin. Tapi, emang, pacaran sama gemini harus cuek. Harus bikin dia penasaran terus.”
Azka tak henti bercerita, sementara tangannya mulai berpindah dari gincu menuju pensil alis. Telingaku fokus mendengar suara Azka walau deru suara bus kota mulai ramai berseliweran. Jarak kami tak lebih dari dua meter, sehingga giginya yang tampak bersih, putih, dan cemerlang terlihat jelas dari tempatku duduk.
“Kalau sagitarius gimana?” lanjutku
“Hmm. Sagitarius itu mood swing.”
“Maksudnya?”
“Ya gampang happy, tapi juga gampang bete. Bisa tiba-tiba sedih padahal lagi main-main.”
Azka ini 11 12 sama Cinta Laura. Aksennya, sih, Indonesia banget, tapi perbendaharaan kata Bahasa Indonesianya kacau. Kalau tidak salah ingat, dia menghabiskan masa kecilnya di Australia, kemudian kuliah di Amerika. Mungkin di rumahnya, Bahasa Indonesia adalah bahasa pilihan, sedangkan Bahasa Inggris digunakan setiap hari. Pernah suatu saat ia mengucap ‘available‘, dan yang terdengar oleh kuping saya adalah ‘ebelebel’. Saking canggihnya, aku kerap kelimpungan mengartikan istilah-istilah Bahasa Inggris yang keluar dari lidah Azka. Tapi, sekali lagi, orang cantik mah bebas bicara apa saja.
“Virgo gimana, Ka?”
“Cukup posesif dan clingy dibanding bintang yang lain, tapi tend to be more loyal.”
“Yoiii,’ lagi-lagi gue setuju. “terus-terus?”
“Aquarius sukanya ngikut aja alur pacarnya gimana, terus pisces orangnya gampang baper. Soalnya mereka itu setia tapi imajinatif. Maksudnya suka mikir kejauhan. Kalau leo gak gampang nyerah dalam relationship. Leo selalu perjuangin apa yang dia pegang teguh. Sedangkan libra sedikit lebay dalam menanggapi sesuatu. Mungkin karena libra, orangnya cenderung ekspresif kali, ya.”
“hmm.. Yang lainnya?”
“Gak tau. Sejauh ini baru pernah deket sama yang itu. Udah, ah, capek. Laper, nih. Nyarap yuk.”
“Sipp.”
Kopi kami bawa ke tempat sarapan, agar tak perlu lagi memesan minum di sana. Selain itu, aku dan Azka punya kesamaan. Kami sama-sama selalu membawa botol air mineral dari rumah. Selalu baru setiap harinya.
Kami berjalan menuju gang kecil di antara gedung Mayapada dan WTC. Di situ ada warung makan, tapi bukan warteg. Warung makan ini sudah buka pagi-pagi, karena mengincar karyawan di bilangan Sudirman yang tidak sempat sarapan di rumah. Dua buah meja dengan masing-masing 5-6 kursi yang saling berhadap-hadapan, dan hanya beratapkan tenda berwarna biru. Meski tampak sederhana, namun masakannya dasyat.
Dua centong nasi di atas mangkuk bergambar ayam jago, ditaburi potongan daging sapi, tak lupa kecambah dan seledri. Kemudian satu guyuran kuah panas menjadikan soto pesananku siap santap. Oh, ya, satu tusuk paru goreng dan ati-rampela kuambil sendiri dari rak makanan, sebelum akhirnya ku aduk perlahan bersama cipratan jeruk nipis dan sambal.
Sementara Azka sedari tadi sudah lahap menyantap nasi putih yang masih terlihat asap hangat mengepul. Oseng usus, telur dadar, dan kuah rawon berwarna pekat, menjadi lauk pilhannya saat itu.
Sembari makan, pikiranku masih melayang-layang melacak pembicaraan tadi. Walau tampak remeh-temeh, zodiak memang kadang terlihat jujur menampilkan kekhasan manusia. Dan kita cenderung menolak apa-apa saja yang disampaikan oleh zodiak, sampai akhirnya kita bersentuhan langsung dengan orang-orang yang berada di bawah zodiak tersebut, kemudian merasakan sendiri kebenarannya.
Tak perlu ada pembuktian untuk sekedar memastikan kebenaran ramalan zodiak. Mungkin kita hanya perlu meniru Azka, menjalin hubungan dengan berbagai macam zodiak. Iya, pengalaman adalah guru yang paling baik. Dan penelitian empiris, bagi saya, sahih adanya. Hehe.
Lalu bagaimana dengan LDR? Walau banyak teman yang sukses melaluinya. bagi saya, lebih baik percaya tuyul ketimbang percaya LDR. Takhayul itu.