Ceking di Mata Saya
Penulis: Seorang karib yang enggan disebutkan namanya.
Sebelumnya aku mohon izin pada sang empunya website untuk menerjang sedikit aturan, jangan ambil pusing dengan peletakkan tanda baca dalam tulisan yang sembrono ini. Aku terbiasa menulis untuk diri sendiri, bukan untuk pengakuan keberadaan, ataupun mata pencaharian, jadi, jujur saja aku tidak paham betul dengan aturan baku penulisan berdasarkan kaidah E.Y.D. Karena ini ulang tahunmu kukira tulisan mengenai mu yang paling tepat. Selamat membaca, selamat bilang”sok tahu” berulang kali.
25 Mei 2015., 23:57
KATANYA AKU HARUS MENULIS
Tiba-tiba saja gagasan itu melintas di kepalaku. Ini artinya adalah sesuatu yang cukup penting, untuk, paling tidak menyisihkan jam-jam yang menyita energi. Aku tidak pernah mengabaikan gagasan yang tiba-tiba muncul tanpa dikendalikan diri. Akhir-akhir ini aku menamai gagasan yang melintas tanpa permisi ini dengan intuisi.
“Thoughtful sekali, dan sedikit berlebihan ,“ ucapku pelan, sambil membetulkan letak biji keyboard yang terlepas menggelinding pelan dari computer jinjing yang usianya hampir sewindu ini, tuts backspace, disanalah jari telunjukku paling sering kudaratkan dan hentakkan saat bekerja dengan computer ini. “Backspace”, seakan-akan tuts ini dengan namanya, memaksa aku untuk back ke space ingatan. Baiklah mungkin ini memang suatu pertanda untuk melangkah kembali ke ruang ingatan.
Sepuluh tahun pertemanan, aku tidak pernah memberikannya sesuatu saat ulang tahunnya. Mungkin memang tidak ada di agendaku, tapi entah menginjak tahun ke sepuluh ini, ia mulai menyusun sebuah website, yang idenya cukup menarik. Ia memfasilitasi siapapun yang memiliki minat dalam tulis menulis. Semoga niat mulianya didengar oleh semesta. Ia memang orang yang tak terduga.
“Lagipula, apalagi yang bisa kau lakukan? Ini sudah paling layak kau berikan sebagai bingkisan dalam hampir satu dekade pertemanan yang bahkan tak pernah sama-sama kami pedulikan,” kata hatiku ikut-ikutan berkomentar.
27 Mei 2015- 16:38
KEEP TALKING, I’M DIAGNOSING
“Oh gitu..hmmm,” jawabku pelan menanggapi setiap penggal cerita yang diucapkannya. Aku memicingkan mata, kulihat jam analog di ponselku hampir menunjukkan pukul setengah 12 malam. Entah ini karena efek sedative yang kuat atau relaksasi berelebihan dari secangkir teh bunga kamomil yang kupesan atau aku memang kelelahan seharian berkelana keliling Jakarta sehingga mataku terasa amat berat.
Ia pencerita yang ulung, yang tak membiarkan pendengarnya merasa jenuh. Ia berbeda sekali dengan omong kosong di media social yang seringkali kulihat di layar ponselku. Lama aku tak melihat sepak terjangnya di social media, dan kurasa tidak adil menilainya hanya dari celotehannya di media social. Di depanku ia masih asyik bicara serius dengan topik pembicaraan yang melompat kesana kemari. “ Orang macam apa dia ini?” pikirku.
Aku menyadari bahwa ia bukanlah bocah laki-laki dengan setelan putih abu-abu yang kukenal sepuluh tahun yang lalu, si jangkung yang duduk sebangku denganku, suka bercanda, dan menceritakan kisah-kisah jenaka, mengomentari guru hingga topik-topik lain khas anak remaja
Kini ia tumbuh menjadi sosok militant bagi buah pemikirannya sendiri. Manusia yang berani meneriakkan isi kepalanya; yang berteriak lantang di depan musuh-musuhnya atas apa yang tak selaras dengan cara pandangnya. Seruduk sana, seruduk sini, hingga aku yakin ia kadang kelelahan menanggung akibatnya. Di sisi lain, di dalam batinnya yang terengah-engah kelelahan itu, ia menikmati kekacauan ciptaannya sendiri.
Ya, dia memang “gila”, gila dengan terang-terangan. Ia begitu jujur dan ngotot dengan opininya, karenanya tak jarang ia dicibir, dilawan, bahkan dijauhi. Ia memang mudah sekali menggores tebal-tebal garis permusuhan di depan kaki lawannya. Namun kukira semua justru membuatnya makin reaktif, biar saja ia seperti itu, segala sesuatu ada waktunya, ia masih muda, api muda yang berkobar tak akan bisa dipadamkan. Jika ia memang kelewatan, aku percaya alam akan melemparnya pada peristiwa yang memperingatkan.
Aku adalah teman yang memilih diam, dan menikmati drama sepak terjangnya tanpa menghakimi. Kadang kala akupun merasa ia pantas dihajar. Bukan aku, kalian, atau siapapun yang akan menghajarnya, tak ada satupun yang bisa menghentikan keliarannya selain akibat dari tingkah lakunya sendiri. Ya, ia terbebat kencang oleh situasi rumit yang ia buat sendiri, tak jarang kusaksikan ia jatuh terjembab masuk dalam jebakan-jebakan ciptaanya sendiri.
Aku tak terkejut, aku paham pola semacam ini. Setelah babak belur dihajar situasi, aku yakin ia akan mengulangi pola itu lagi. Tak akan ada yang mengubah pendiriannya, namun seharusnya ia tumbuh mendewasa dengan “luka-lukanya”. Jika dia harus mulai lagi, harus berlari lagi, harus bertarung lagi, aku harap dia berjuang untuk sesuatu yang benar dan bermanfaat bagi sesama, bukan melulu nafsu.
Aku rasa Tuhanpun suka manusia pemberontak yang berapi-api mencari kebenaran, ketimbang yang menurut saja seperti kerbau dicocok hidungnya, tanpa tahu mengapa ia harus menaati aturan. Akupun juga memiliki api kegilaan dalam jiwaku, memiliki jiwa “penggedor pintu” norma-norma usang, hanya saja semua kegilaan itu kusembunyikan rapi dibalik diamku, atau mungkin juga aku hanya kurang berani menampilkan warna asliku. Tak masalah sembunyi-sembunyi asal yang kulakukan baik untuk orang disekitarku. Inilah yang ia miliki dan aku tidak: Keberanian setebal tembok benteng cina.
“Pulang yuk udah jam 12,” suara baritonnya mengejutkanku.
Seperti biasa dalam setiap perbincangan aku selalu berperan sebagai pendegar yang hebat. Dari topik pembicaraan seputar masalah kantor, kehidupan pribadi, keluarga, hingga negara dilahapnya di depanku. Tapi yakinlah aku pendengar yang lumayan, yang kudapat bukan hanya kisah yang terlontar dari bibirnya, tapi ada juga hal lainnya, kedalaman jiwanya. Seorang pembicara cenderung hanya mengulang yang diketahuinya, sedangkan pendengar selalu mendapat sesuatu yang baru.
Aku sendiri tumbuh menjadi seorang pendengar. Seorang pendengar selalu terlihat pasif dan membosankan. If you know me based on who I was years ago, you don’t know me at all. My growth game is strong. Ya, aku bukan lagi perempuan muda yang ceriwis penuh drama menggelikan. Kini aku lebih banyak diam dan berhati-hati dengan tutur kata, karena kadang aku tidak tahu siapa yang menjadi lawan bicaraku. Kawan atau lawan? “Kartu truf” yang bisa kapan saja terlempar melalui lisan pun harus kujaga baik-baik. Perbincangan satu mejapun tak ubahnya permainan kartu, ia yang membuka kartu lebih banyak adalah pecundangnya.
Tapi tidak malam itu, aku memang lebih banyak diam, bukan untuk menyembunyikan “kartu-kartuku”. Dia membuka banyak “kartunya”, tapi ia bukan pecundang. Kenapa? Entahlah. Bisa saja saat itu aku kehabisan kata, atau mungkin ia telah mengguncang dunia kecil dalam jiwaku. Mungkin saja.
Ia mengacau, aku menikmatinya; ia bicara aku mencerna; ia gila, aku gila dengan caranya sendiri mungkin ini lah mengapa kami tetap berteman dalam satu dekade. Sepuluh tahun.
“I need to taste your thought process. Together we can unravel the intricate riddles of life. Soar through the cosmos and against time. The deeper, the better.”
29 Mei 2015 00:47
DO I KNOW YOU, ANGGA?
Berbicara tentangnya tak bisa terlepas dari kisah percintaanya. Drama, drama dan drama adalah 3 kata yang tepat untuk menggambarkan kisah percintannya (kuharap ribuan siasat, dan sederet tipu muslihat tak termasuk di dalam usaha memenuhi kepuasan nafsunya). Beberapa kali ia datang padaku dengan membawa kisah percintaan yang bagiku sebenarnya bisa terselesaikan dengan sederhana, namun dengan alur berpikirnya, segalanya terasa sulit. Tentu saja aku tak bisa membantunya, karena ia pun sesungguhnya menikmati tiap lembar drama, dan mungkin saja ia ingin menggoreskan kisah yang rumit di buku petualangan cintanya agar hidupnya terkesan penuh tantangan dan intrik. Lucu sekali.
Di balik segala kerumitan kisahnya (yang ia ciptakan sendiri), aku yakin ia menyimpan rapi segala kelemahannya. Ia tetaplah seorang anak laki-laki yang bemanja-manja pada ibunya. Kukira saat ini satu-satunya wanita yang bisa membuatnya menyerah dan bertekuk lutut adalah ibundanya. Ia adalah seorang lelaki peragu yang kadang ketakutan setengah mati akibat tingkahnya sendiri. Ia tetaplah seorang manusia yang kadang menangis sendirian di kamar dan setelah keluar kamar ia harus menghapus air matanya dan mencoba mengenakan kembali pakaian kebesarannya; keangkuhan dan keras kepala. Ya kurasa, ia tidak suka dianggap remeh dan dikasihani oleh musuh-musuhnya.
Aku tidak tahu banyak tentang percintaan dan kehidupan pribadinya, jadi tidaklah layak aku bicara banyak-banyak Ini saja sudah terkesan sok tahu dan menebak-nebak saja.
Aku juga minta maaf mengenai saran-saran percintaan yang kadang tak bisa membantunya, dan terdengar seperti saran usang nenek-nenek tua. Ketinggalan jaman, terlalu mendayu, bullshit dan menurutnya tidak mungkin diaplikasikan ke dalam kisahnya yang rumit. Tapi, paling tidak,aku selalu memiliki kehendak baik untuknya, dan sebisa mungkin menuntunnya ke jalan yang tidak terjal.
Oleh sebab itu, aku sebagai teman hanya bisa medoakan, semoga jika hatinya di jatuhkan lagi, kuharap Tuhan menjatuhkannya pada bidadari yang tak mahir mematahkan.
1 JUNI 2015 22:49
SELAMAT BERKURANG USIA, ANGGA!
Selamat bertambah usia, sekaligus berkurang usia. Tanpa aku harus bicara panjang lebar seharusnya kau tahu seperti apa seorang manusia dewasa yang seharusnya.
Hanya tulisan-tulisan sok tahu tentangmu ini saja yang bisa kuberikan.
Percayalah ini lebih memakan waktu ketimbang memacu motorku mencari bingkisan.
Percayalah ini lebih menguras pikiran daripada menyusun kata di kartu ucapan.
Percayalah ini lebih melelahkan daripada merencanakan pesta yang paling mengesankan.
Percayalah aku merasa tak sia-sia mengurangi waktu istirahatku untuk menyusun tulisan-tulisan.
Karena kau suka tulisan, aku harus menulis. Sesederhana itu.
Inilah dedikasi kecilku untukmu, temanku.
Jayalah selalu.
Jangan lupa selalu jadi jenaka.
Tinggalkan kedangkalan, selamilah samudera dirimu dalam-dalam.
Jangan lupa jadi sehat.
Jangan lupa makan.
Jangan lupa bahagia
Jangan kehilangan jiwa ana-anak dalam diri, rejeki memilih datang pada hati yang murni
Main-mainlah ke Jogja, kurangi berwacana, perbanyak tamasya (tapi percayalah, perjalanan dalam diri selalu lebih menyenangkan.)
Selamat ulang tahun, Angga. Selamat malam.