Catatan Kecil dari Kapten
Siang ini bukan siang yang biasanya, sebab besok adalah tanggal gajian. Bulan ini, dompet saya kembang-kempis. Saya benar-benar merindukan hari gajian.
Tidak hanya itu, siang ini menjadi tidak biasa karena sahabat saya, Kapten, mengirimkan pesan melalui akun Pathnya.
Pria kelahiran Borobudur yang memiliki nama asli Hardianus Hanggara Purnawirayuda tersebut, meminta agar catatan kecil pada postingan Pathnya di simpan ke dalam blog saya.
Saya memang sedang “mengoleksi” tulisan-tulisan teman. Saya meminta, secara khusus, ke beberapa teman untuk menuliskan apa saja dan tulisan itu akan saya publish di blog King Gita dengan tanda #rupateman. Namun sejauh ini baru ada empat orang, termasuk Kapten, yang telah menyumbangkan tulisannya untuk blog saya.
Nuwun, Ten.
***
Sejujurnya, saya sangat amat kesulitan memahami #catatankecil itu. “Asu tenan ki. Piye arep ngerampungke skripsi, wong nulis ngene wae, rak jelas,” gumanku saat pertama kali membacanya. Kapten menulis catatan kecil itu dengan tata bahasa yang tidak bisa dikatakan baik. Tetapi sepertinya saya lupa satu hal: Ini hanya media sosial. Pada media sosial, haruslah tidak serius. Tata bahasa yang tepat, tidak diperlukan di sini.
Saya tuliskan kembali isi catatan kecil dari Kapten, dengan bahasa saya sendiri. Semoga tidak malah membelokkan makna yang hendak disampaikan Kapten.
“Cewe tuh simple. Bagi mereka, IYA berarti IYA. Sedangkan TIDAK, juga berarti IYA. Namun ketika, TIDAK, berarti MUNGKIN. Maka, MUNGKIN, bisa berarti IYA, bisa juga berarti TIDAK.”
Bagaimana? Apakah malah semakin sulit memahaminya?
***
Bukan kali ini saja saya gagal memahami kata-kata. Kurang lebih tiga tahun yang lalu, saya adalah seorang pesakitan kata-kata. Ketidakmampuan memahami kata-kata, berkorelasi terhadap ketidaktepatan memberi tanggapan.
Saat itu, hari-hari kerap terasa seperti neraka. Selama lima tahun saya pacaran, entah sudah berapa pertengkaran yang lahir karena salah pengertian
Maksudnya A, dikiranya B. Diharapkan menjawab C, eh saya malah menjawab D. Salah tafsir adalah keseharian saya, tiga tahun yang lalu.
Ketika pertama kali membaca catatan kecil Kapten, yang ada di benak saya, tulisan tersebut ditujukan kepada kekasihnya. Tentu mungkin saja saya salah. Mungkin saja catatan kecil ditujukan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.
Bukan perkara mudah untuk memahami wanita, memang. Saya membayangkan apa yang dirasakan Kapten ketika menuliskan itu. Amarah, rasa heran, jengkel, yang sudah menahun. Atau mungkin saja yang dia rasakan adalah gatal pada ubun-ubun karena ada salah seorang temannya yang tidak juga bisa memahami wanita. Hal yang selama ini dapat dengan mudah ia lakukan.
Oleh karenanya, pada kalimat terakhir catatan kecilnya, tertulis:
Pahami itu, niscaya bisa menguasai dunia.
Sebuah kalimat penutup yang begitu angkuh, yang ketika menulisnya, dagu berjarak sejengkal dari dada.
Adalah sebuah keniscayaan untuk dapat menguasai dunia, jika kita, para pria, dapat memahami wanita.
Kapten di sini, memberi petuah untuk saya. Sa kira.