Pacaran
Saya kira, saya tidak perlu diajari cara mendekati perempuan. Perempuan terakhir yang saya kencani, circa 2015, berawal dari sebatang Silver Queen ukuran kecil di hari Valentine. Tak sampai tiga bulan setelah saya memberikan coklat itu melalui seorang teman, kami jalan-jalan keliling Semarang-Yogyakarta, berduaan saja. Saya kira, saya juga tidak perlu dinasihati prihal perempuan seperti apa yang cocok untuk saya. Tiga perempuan terakhir yang saya kencani punya beberapa kesamaan: cantik, punya selera berpakaian yang bagus, pekerja keras, fasih berbahasa Inggris, dan, ya, Katolik. Saya ini pengagum perempuan cantik dan hebat. Saya juga tidak perlu terus-terusan diberi tahu betapa pentingnya segera menikah. Saya paham betul bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, bahwa setiap manusia perlu punya pasangan hidup yang setia menemani di kala suka dan duka, bahwa dengan semakin tua usia saya ketika menikah nanti artinya akan semakin lebar pula jarak usia dengan anak saya. Saya paham itu. Paham semua.
Kalau ada hal yang perlu saya dengar, yang mungkin dapat membuat saya kembali bergairah untuk mendekati perempuan dan kemudian menikah, adalah bahwa di luar sana ada perempuan yang mau dengan seorang lelaki usia 30 tahun yang hidupnya bergantung dari bisnis ecek-ecek rintisan. Bullshitlah kalau ada yang bilang menikah itu bukan semata-mata materi, bukan semata-mata tampilan menawan dan kemapanan, karena yang terpenting adalah kenyamanan. Halah, pret!
Betul sih kenyamanan itu penting, tapi ya bukan berarti tampilan menawan dan kemapanan berada di bawahnya. Menurut saya ketiganya sejajar. Setara. Manusia punya mata, yang memang diciptakan untuk seleksi awal segala hal. Makanan dan Minuman yang sejatinya memanjakan lidah, tenggorokan, dan perut pun kita pilih yang tampilannya menarik. Jadi sungguh sangat amat wajar bila kita tertarik dengan lawan jenis diawali dari tampilan fisiknya. Kita semua begitu, iya kan? Setelah fisik masuk kriteria, baru deh lanjut ke ini itu ini itu. Nah, apalagi soal kemapanan. Buat apa kita tergila-gila pada kerupawanan pasangan kita, tapi luntang-lantung sandang pangan papan? Dan bagaimana ceritanya bisa hadir kenyamanan kalau hidup susah? Sekali lagi, saya kira, rupawan – mapan – dan nyaman adalah sepaket.
Soal tampilan menawan, saya kira diri saya ini punya pasarnya sendiri. Saya sama sekali tidak tampan, juga tidak begitu baik dalam berpakaian, rambut saya gondrong acak-acakan, kulit juga tidak putih seperti yang banyak didamba-dambahkan netizen, tapi buktinya selama ini selalu bisa-bisa saja dapet pacar. Cantik pula. Berarti, logikanya, ada yang suka tampilan saya. Kalau soal kenyamanan, saya pernah pacaran 5,5 tahun. Gak mungkin dong ada perempuan yang bisa bertahan dalam ketidaknyamanan selama itu. Ya walaupun dua hubungan terakhir tidak ada yang lebih dari satu tahun. Jadi rasanya, kenyamanan bukanlah masalah dalam diri saya. Nah, kalau bicara soal kemapanan, itu dia masalahnya.
Menikah dan menjalani kehidupan pernikahan, pasti butuh uang. Pasti. Kita harus punya bekal yang cukup untuk perjalanan pernikahan. Bekal lho ya. Tahu kan arti bekal? Bekal itu artinya sudah ada terlebih dahulu, sudah disiapkan terlebih dahulu, untuk kehidupaan paska resepsi pernikahan nanti. Bukan cuma sebatas sampai perayaan pernikahannya saja, trus sisanya diusahakan nanti.
Saya yakin kok, kita semua pada akhirnya nanti sukses dengan caranya masing-masing. Namun, yang jadi pikiran saya saat ini adalah kondisi terkini dan beberapa langkah ke depan. Saya tidak bisa berandai-andai, nanti kan pasti ada jalan keluarnya. Nanti kan pasti dapet rezeki. Aduh. Kenapa tidak kita siapkan terlebih dahulu saja sih? Kalau nanti di tengah perjalanan punya rezeki lebih, ya Puji Tuhan, bisa buat nambah-nambah, atau bekal hari ke depannya lagi. Iya kan?
Saya, saat ini, ada di fase mengumpulkan bekal, dan sayangnya belum cukup. Jauh dari kata cukup. Dari situ saja pasti ada yang langsung mundur. Perempuan butuh kepastian dalam waktu cepat, dan saya belum bisa memberikan itu. Saya belum mapan. Persoalan kedua, dan persoalan yang paling mengganggu saya saat ini adalah waktu saya habis terkuras untuk mengumpulkan bekal. Saya bekerja dari Senin sampai Senin, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Hari Sabtu dan Minggu adalah hari paling sibuk, yang mana kebanyakan orang justru berleha-leha pada hari tersebut, dan saya mesti menjaga toko balon dari jam 5 sore sampai 9 malam, ketika orang-orang lain justru sudah pulang kerja.
Tolong beri tahu saya hari apa dan jam berapa saya mesti berkencan? Tolong beri tahu saya, apakah ada mba-mba di luar sana yang punya waktu di weekdays dan siang hari? Ya setidaknya sampai saya punya rekan kerja satu lagi untuk jaga toko shift sore-malam.
Saya Anggara Gita