Cara Mudah Pilih Capres-Cawapres 2024
Ternyata sulit banget menahan godaan untuk tidak ikut-ikutan bersuara tentang copras-capres. Entah kenapa seperti ada dorongan untuk berpihak, Untuk berani menyampaikan preferensi politik.
Walaupun gue sadar betul bahwa akan ada konseksuensi buruk dari tulisan ini, yang antara lain “dianggap buruk/jahat/bodoh” oleh sebagaian teman, atau bahkan yang lebih parah lagi adalah apabila sosok yang gue dukung sekarang ternyata di kemudian hari melakukan hal-hal di luar nurul, seperti korupsi. Mau ditaro di mana muka gue?
Tapi ya sudahlah, anggap saja ini catatan sejarah bagaimana gue berproses dalam melihat perpolitikan tanah air. anjay.
***
Catatan sejarah pilihan politik gue
- Pilgub Jakarta 2012 –-> Gue dukung Faisal Basri karena dia calon independen/non-partai. Gue saat itu sangat skeptis dengan partai. Dan gue juga suka dengan statement serta gagasan beliau. Faisal Basri kalah di putaran pertama, dan kemudian pasangan Jokowi-Ahok menang di putaran dua.
- Pilpres 2014 –> Gue dukung Jokowi-JK, karena gue merasakan banget perbedaan suasana Jakarta ketika dipimpin pak Jokowi selama dua tahun sebagai Gubernur. Gue memang orang Bekasi, tapi menghabiskan hari-hari sebagai karyawan di Ibu Kota. Di era Pak Jokowi kemacetan berkurang dan trotoar-trotoar diperbaiki sehingga nyaman banget untuk pejalan kaki. Gue ingin tangan emas Pak Jokowi naik tingkat dari level Ibu Kota menjadi negara.
- Pilgub Jakarta 2017 –> Gue dukung Ahok-Djarot karena puas dengan kinerja mereka di periode pertma. Dari hasil survei juga membuktikan bahwa lebih dari 60% warga DKI puas dengan kinerja Ahok-Djarot, tapi sayangnya mereka kalah karena isu sentimen agama. Pasangan Anies-Sandi menang.
- Pilpres 2019 –> Gue kembali dukung Pak Jokowi, yang kali ini berpasangan dengan Pak KH Maruf Amin. Alasan sederhana, melanjutkan program yang sudah dibuat selama lima tahun. Menurut gue, program kerja dalam cakupan nasional tidak akan cukup dibangun dalam lima tahun. Siapa pun presidennya, selama rapotnya tidak buruk-buruk amat, harusnya dapet kesempatan 10 tahun berkarya agar programnya dapat terlaksana
Selama empat kali menyimak secara intens Pilgub & Pilpres, berarti kurang lebih 7 tahun, gue mendapatkan banyak sekali pelajaran.
1) Di Pilgub 2017, gue telah dengan yakin menetapkan bahwa tidak akan pernah memilih Anies Baswedan. Gue tuliskan juga di blog ini alasannya, bisa dibaca di sini
2) Di politik, tidak pernah ada kubu yang benar-benar kalah atau benar-benar menang. Mereka semua yang kita lihat di kertas suara dan layar kaca, beraksi bak seorang profesional. Mereka bekerja sungguh-sungguh untuk satu tujuan: menang. Mereka siap berkompetisi dan bekerjasama dengan siapa pun demi sebuah kemenangan.
Contoh
- di Pilpres 2014, Pak Anies adalah ujung tombak pemenangan pasangan Jokowi-JK. Sedangkan Pak Mahfud MD adalah ujung tombak pemenangan pasangan Prabowo-Hatta. Saat itu mereka bermusuhan, tetapi kemudian saat ini Pak Prabowo & Pak MahfudMD adalah menteri Pak Jokowi. Aneh kan?
- di Pilgub 2017, Pak Anies yang dulunya pendukung Pak Jokowi, malah mencalonkan diri dan menang di DKI Jakarta, dengan mengalahkan Pak Ahok yang notabene adalah timnya Pak Jokowi. Pak Anies bisa maju sebagai cagub di periode ini atas dukungan dari Pak Prabowo (Gerindra)
Jadi, teman-teman, ini sama saja seperti kita menonton sepakbola. Neymar dan Messi pernah bahu-membahu satu tim di Barcelona. Lalu kemudian Neymar pindah ke klub PSG sehingga kita disuguhkan pertandingan yang aneh. Melihat Messi (Barcelona) berhadapan dengan Neymar (PSG). Tetapi uniknya lagi, selang beberapa tahun kemudian, Messi pindah ke PSG, sehingga mereka berdua kembali bermain untuk satu tim yang sama.
Begitu juga para politisi, kadang mereka satu kubu, kadang harus bersebrangan. Mereka melakukan daya dan upaya secara profesional untuk menang.
3) Rakyat adalah satu-satunya pihak yang kalah. Setelah pilpres/pilgub selesai, para politisi menghentikan perseteruan. Pertandingan selesai, mereka akur kembali. Yang tadinya lawan, bisa jadi kawan seperti Pak Jokowi dan Pak Prabowo saat ini. Yang tadinya kawan, bisa jadi lawan seperti Pak Anies yang pernah satu tim dengan Pak Jokowi dan Pak Ahok, tetapi sekarang berada di kubu yang berbeda.
Akan tetapi, rakyat belum punya kebesaran hati dan wawasan luas seperti para politisi. Banyak yang masih menyimpan dendam akibat sengitnya pertarungan, dan beberapa memelihara sakit hatinya karena jagoannya kalah. Tali silaturahmi terputus, sahabat menjaduh, bahkan ada yang kehilangan pekerjaan dan jodoh. Menyedihkan.
Sekalu lagi, rakyat adalah satu-satunya pihak yang kalah di pertarungan politik
***
Dari pengalaman-pengalaman inilah gue belajar untuk menentukan siapa sosok yang akan gue pilih dan rekomendasikan di 2024 nanti.
Nah lalu, siapa yang akan gue pilih di Pilpres 2024?
Gampang banget.
Kita bisa melihat secara terang benderang ada dua kubu di 2024, yaitu kubu yang puas dengan pemerintahan Pak Jokowi vs kubu yang tidak puas. Perbedaan dua cara pandang ini sangat wajar. Berarti, kubu yang puas ingin program Pak Jokowi dilanjutkan, sedangkan kubu yang tidak puas ingin adanya perubahan.
Siapa saja mereka?
A) Kubu Tidak Puas (Perubahan)
Ada pasangan Anies-Imin. Pasangan ini menyerukan perubahan.
Jadi, untuk teman-teman yang merasa bahwa program dan kinerja Pak Jokowi selama 10 tahun menjabat ini tidak bagus untuk rakyat dan ingin adanya sesuatu yang baru, yang bertolak belakang dengan yang berjalan selama ini, silakan pilih pasangan Anies & Imin.
Uniknya, teman-teman, Pak Anies bisa maju sebagai capres karena didukung oleh Partai Nasdem, sedangkan Cak Imim maju sebagai cawapres atas dukungan PKB. Baik Nasdem maupun PKB, keduanya saat ini masih berstatus sebagai menteri di kabinet Pak Jokowi. Bagaimana bisa partai yang saat ini ikut bahu-membahu membangun negara bersama presiden Jokowi, sekarang malah menyerukan perlawanan terhadap pemerintahan, menyerukan ketidakpuasan dan ingin ada perubahan
PKB dan Nasdem, logikanya, ikut bertanggung jawab atas baik buruknya pemerintahan saat ini. Kalau mereka tidak suka dengan gaya pemerintahan Pak Jokowi, harusnya Nasdem dan PKB beluar dari kabinet. Sesederhana itu.
Kita mengenal istilah koalisi vs oposisi. Semua yang berada dalam satu kubu yang sama disebut koalisi, sedangkan lawannya disebut oposisi. Saat ini, Pak Jokowi bersama dengan Pak Prabowo (Gerindra), PDIP, PKB, Nasdem, PAN merupakan koalisi. Satu tim. Bila tidak setuju dengan program Pak Jokowi, ya harusnya mereka keluar dari koalisi, lalu menjadi oposisi.
Sama seperti misalnya Messi berduet dengan Neymar, lalu tim mereka kalah. Kemudian Neymar berteriak-teriak ke publik bahwa timnya jelek karena Messi. Messi harus diganti. Teman macam apa ini?
Ah, sudahlah. Jangan dibuat rumit dan pusing. Intinya, bila teman-teman ingin adanya perubahan, tidak ingin program kerja Pak Jokowi dilanjutkan, silakan pilih pasangan Anies-Imin.
B) Kubu Puas (Melanjutkan)
Nah ini yang menarik. Konon, ada dua pasangan yang konon ingin melanjutkan kinerja Pak Jokowi, yaitu pasangan Ganjar-Mahmud dan Prabowo-Gibran.
Pertanyannya, kalau mereka benar-benar ingin melanjutkan program Pak Jokowi, kenapa mereka tidak bergabung jadi satu tim saja?
Apa perbedaan antar keduanya?
Oke kita bahas.
Bila teman-teman suka dengan kinerja-program Pak Jokowi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan ingin semuanya ini DILANJUTKAN & DISEMPUNAKAN, maka silakan pilih pasangan yang punya cara berpikir yang sama dengan Pak Jokowi?
Bagaimana cara berpikir Pak Jokowi?
1) Semangat kolaboratif.
Pak Jokowi merasa bahwa negara tidak bisa dibangun sendirian atau hanya sekelompok kecil. Pak Jokowi membuka kesempatan seluas-luasnya untuk bekerjasama dengan siapa pun, termasuk lawan politiknya. Oleh karenanya, ga heran bila Pak Jokowi mengajak Pak Prabowo dan Mas Sandiga Uno untuk masuk ke dalam kabinetnya
2) Berani & progresif
Masih pada inget kan gimana Pak Jokowi dengan gagah berani mengunjungi dua negara yang sedang berperang, Ukraina & Rusia? Pada tahun 2018, Indonesia membuat catatan sejarah dengan berhasil memegang saham terbesar Freeport. Pak Jokowi juga dengan gagah berani menunjuk Ibu Susi dengan menteri di periode pertama kepemimpinannya, padahal Ibu Susi hanyalah lulusan SMA. Masih banyak lagi keberanian-keberanian serta terobosan yang dilakukan Pak Jokowi selama 2 periode menjabat sebagai presiden.
3) Pro anak-anak muda.
Ini adalah karakteristik yang menurut gue khas banget dari Pak Jokowi. Di Era beliau, ada banyak menteri yang usianya muda. Menteri Pendidikan kita, Mas Nadiem Makarim, berusia 35 tahun ketika dilantik. Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, berusia 38 tahun ketika dilantik. Gileee!
Kita juga bisa merasakan betul di era Pak Jokowi ada banyak banget event International yang kita selenggarakan, dari Asian Games 2018, MotoGP, Piala Dunia Basket FIBA 2023, dan akan ada Piala Dunia U17.
Pak Jokowi sangat suka dengan anak-anak muda, memberi mereka kesempatan untuk memumpin, dan mendukung hal-hal terkait anak muda dengan menyelenggarakan event-eventnya yang anak muda banget
Bila dilihat dari tiga hal di atas, menurut teman-teman, siapa yang paling tegak lurus akan melanjutkan & menyempurnakan program Pak Jokowi? Apakah pasangan Ganjar & Mahfud atau Prabowo & Gibran?
Oh ya, salah satu dari dua pasang tersebut, ada lho yang
a) menggagalkan cita-cita Pak Jokowi untuk menyelenggarakan Piala Dunia U-20
b) tidak merangkul banyak partai untuk bekerjasama
c) sering banget mengecilkan peran Pak Jokowi bagi negara ini.
jadi jangan terkecoh ya. Ada pasangan yang jelas-jelas bilang perubahan, ada yang jelas-jelas tegak lurus dengan Pak Jokowi, tapi ada juga yang nanggung-nanggung. Gak Jelas arahnya ke mana. Nah yang nanggung-nanggung ini malah bikin bingung sebetulnya.
Sudahlah, pilih yang pasti-pasti aja.