Berziarah via Dolorosa

Kita semua memanggul salibnya masing-masing, sendirian, via dolorosa.

Joni, tetangga gue, baru aja bertobat Hari Minggu kemarin. Sepanjang hidupnya ia habiskan waktu dengan berjudi dan mabuk. Dia beruntung, dilahirkan dari keluarga berada dan pada dasarnya Joni memang anak yang pintar dan giat bekerja, sehingga walapun sebagian besar uangnya digunakan untuk berjudi dan membeli minuman beralkohol, ia tidak jatuh miskin.

Akan tetapi pada suatu malam, Joni tidak bisa tidur pasalnya sekujur tubuhnya pegal, lambungnya sakit, nafas sesak, dan terlebih lagi dia tiba-tiba teringat nasihat Ayahnya sebelum meninggal, “jadilah manusia yang bermanfaat bagi banyak orang.” Tiba-tiba ia dihantui perasaan bersalah.

Esok paginya, Hari Minggu pukul 6, entah ada wangsit apa, Joni memutuskan untuk ke Gereja naik ojek online. Entah kapan terakhir kali Joni ke Gereja, ia lupa rute ke Gereja sehingga tidak berani membawa kendaraan pribadi. Selain itu, dia tidur tidak sampai 60 menit.

Sesampainya di Gereja, Joni langsung menemui Pastor untuk mengaku dosa dan meminta dibaptis.

“Loh, kamu kan sudah Katolik, berarti gak perlu dibabtis lagi. Cukup menerima sakramen pengakuan dosa saja,” ujar Pastor

“Kurang afdol pastor, saya mau mengaku dosa dan tolong sekalian urapi saya dengan air lagi. Saya ingin memulai hidup yang baru melalui pembaptisan”

Pastor tidak ingin berbedat kusir, apalagi jam 8 harus memimpin misa pagi.

“Oke sini, anakku. Coba sebutkan apa saja dosa-dosamu.”

Joni menyebutkan semua dosa dan kesalahan yang selama ini ia lakukan, bahkan sampai menangis. Dan setelah itu Pastor mengambil ember berisi air dan membabtis Joni.

Anakku, bertobatlah dan percayalah pada Injil. Kini dosa-dosamu telah diampuni. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi, mulai hari ini nama kamu adalah Yohanes,” ucap Pastor sambil mencelupkan kepala Joni ke dalam ember sebanyak tiga kali.

Joni sangat senang. Dia merasa dadanya enteng, matanya hanya melihat cahaya terang. Saking senangnya, ia memilih pulang dengan berjalan kaki. Rumahnya lumayan jauh, 8km, akan tetapi Joni bertekad untuk pulang jalan kaki agar bisa bertemu dengan banyak orang di jalan berbagi senyumkan sukacita.

45 menit berjalan kaki, Joni akhirnya tiba di rumah. Belum terlalu siang memang, akan tetapi panas matahari cukup terik. Joni kehausan. Begitu masuk ke dalam rumah, yang ia cari pertama adalah kulkas. Tapi sayangnya, cobaan langsung dihadapi Joni. Kulkas miliknya berisi full minuman beralkohol, padahal beberapa jam sebelumnya ia baru saja berjanji untuk tidak lagi menyentuh alkohol.

“Kalau gak minum, gue mati. Kalau gue minum, gue dosa. Minum satu doang gak akan mabuk sih, tapi nanti kalau ketagihan bisa bahaya. Gimana nih?” gumam Joni

Joni memang pemabuk dan suka berjudi, tapi ia tidak bodoh. Dia ke dapur, mengambil ember kemudian mengisinya dengan air. Ia bawa ember itu ke depan kulkas. Satu kaleng beer ia ambil dan celupkan ke dalam ember sebanyak tiga kali.

“Hai kaleng beer, bertobatlah dan percayalah pada injil. Kini dosa-dosamu telah diampuni. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi, mulai hari ini nama kamu adalah Jus Jeruk,” kemudian Joni menenggak kaleng bir yang telah bertobat itu tanpa sisa.

Sekali lagi, seperti kalimat pertama yang gue tuliskan di catatan ini, kita semua punya jalan salibnya masing-masing yang mesti kita tempuh dan selesaikan.

Ada yang melintasi bebatuan licin, ada yang harus menanjak terjal di bawah terik matahari, ada yang terjatuh berulang kali, lututnya lecet – kaki memar – tangan terkilir, sampai menangis dan hampir menyerah. Tapi tidak jarang pula kita melihat seseorang memanggul salibnya sambil tersenyum cengengesan, sejuk di bawah terang rembulan, dan bahkan bertemu dengan Veronika dan Simon Kirene.

Apapun salib yang kita panggul dan jalan kesengsaraan yang kita tempuh, kita tetap bisa saling mendoakan, saling menolong, saling menghibur, dan tak perlu merasa yang lain lebih ringan, dan salib kita yang paling berat. Kita semua adalah teman seperjalanan untuk mencapai puncak Golgota, tetapi dengan sepatunya masing-masing. Tak perlu bertukar sepatu.

Bagi teman-teman yang berdomisili di Yogyakarta dan sekitarnya tersedia sangat banyak Gua Maria untuk diziarahi. Tinggal pilih. Mungkin hanya perlu 2-3 hari untuk melahap seluruh Gua Maria di sana. Berbeda cerita dengan teman-teman yang tinggal di provinsi lain, yang mesti menyediakan waktu lebih untuk perjalanan berangkat dan pulang, termasuk uang saku untuk penginapan dan makan.

Kita punya garis start yang berbeda-beda, dengan keunikannya masing-masing. Tetapi kita semua sama: punya tujuan yang jelas, membutuhkan persiapan yang serius, serta harus menyelesaikan perjalanan untuk tiba di tempat Ziarah. Tidak seinstan tidur kemudian terbangun di dalam Gua.

Kita bisa saja bertemu wajah di persimpangan jalan atau di depan Gua, tapi jalan yang kita tempuh masing-masing pasti berbeda. Tak pernah ada yang sama. Pun perziarahan kita di dunia, kita punya start yang berbeda, waktu tempuh yang tak sama, namun entah di persipangan mana kita bisa saja berjumpa, sehingga tak ada salahnya kita menjadi Veronika dan Simon dari Kirene bagi orang lain dengan cara yang paling sederhana, bertegur sapa, melempar senyum, bertukar bekal, saling memberkati, karena toh pada akhirnya nanti kita akan bertemu lagi dalam Gua yang sama.

Gua keabadian kasih Tuhan.

@cekinggita

Tulisan ini telah dikunjungi sebanyak 1 kali, 116 diantaranya adalah kunjungan hari ini.