Bahagia itu Tidak Mudah
Penulis: Ares Hutomo.
Aku sering heran. Sebagian orang menganggap bahwa kebahagiaan adalah hal yang begitu mudah dicapai. Naif memang, tapi mereka beranggapan bahwa dengan menerima diri sendiri, bersyukur dengan keadaan yang dipunyai saat ini lantas mereka mendefinisikan itu sebagai kebahagian? Aku kira, tidak.
Bayangkan, kamu adalah seseorang yang lahir dan dibesarkan di keluarga berada. Tidak, cukup di keluarga menengah saja. Lalu kamu mulai berceloteh bahwa kamu bahagia, punya orang tua yang care, bisa sekolah hingga tinggi, pekerjaan yang layak, punya kekasih, menikah, membesarkan buah hati dan menua bersama pasanganmu. Tidak ada halangan berarti dalam kehidupan. Lalu kamu menyebut dirimu bahagia. Kamu menyebut dirimu bersyukur dan kamu mulai membagikan kebahagiaan itu pada orang lain. Tidak ada yang salah memang dengan itu semua. Semua orang menginginkannya. Dan semua orang juga paham bahwa itu semua tidak mungkin.
Aku mungkin bersikap sinis, atau apalah yang kurang lebih cocok penggambarannya, tapi ketika seseorang mulai bercerita tentang kebahagiaannya pasti terselip satu atau dua kisah mengenai kesombongan. Entah kita bisa menerimanya atau tidak, yang pasti kalian mulai bisa memikirkan contoh kata-kataku tadi di kehidupan kalian masing-masing.
Aku mungkin menjadi antagonis tapi aku juga tidak mengesampingkan bahwa apapun kebahagiaan mereka, itu adalah hak mereka dan mereka memang layak menerimanya. Bagaimana mungkin kita tidak memberi apresiasi ketika seseorang bahagia karena dia mendapat pekerjaan? Dan bagaimana mungkin kita tidak memberikan selamat ketika sahabat kita sendiri sudah duduk di pelaminan dengan pasangan dia? Tapi, itu adalah kebahagiaan mereka. Kita hanya ikut ke dalamnya. Ikut bahagia? Aku rasa tidak begitu.
Semua orang dalam hati kecilnya pasti memikirkan bagaimana mereka bahagia untuk diri mereka sendiri. Atau lebih tepatnya ketika mereka bahagia karena kebahagiaan orang lain, mereka perlahan mulai berpikir bagaimana mereka bisa bahagia untuk diri mereka sendiri. Lalu apakah ini yang disebut sebagai motivator kebahagiaan bagi diri sendiri? Sekali lagi, bahagia itu tidak mudah.
Selain Ares, ada juga sahabat saya yang becerita tentang kebahagiaan. Selengkapnya dapat dibaca di sini
Pekerjaan dan pelaminan. Aku mengambil 2 contoh kebahagiaan itu di atas. Tidak ada alasan yang lain, selain usiaku sendiri yang banyak orang beranggapan sudah cukup matang, dan tidak ada alasan untuk menyebut keduanya adalah hal mudah. Bagaimana dengan kalian?
Setiap orang memiliki pekerjaan dan penghasilan mereka sendiri. Aku tidak akan menganalogikan lagi bagaimana seberapa besar penghasilan pasti tidak akan cukup tergantung kebutuhan dan segala macamnya, itu sudah usang dan kalian sangat memahaminya. Aku hanya tidak dapat memakai nalarku ketika ada anggapan bahwa bekerja itu berat, bekerja itu beban, dan bekerja itu hanyalah suatu hal yang tidak menarik karena nantinya bekerja hanya berujung pada tagihan dan hutang-hutang yang menumpuk. Lalu bagaimana kebahagiaan akan diraih? Ketika kamu lahir dari rahim seorang ibu, kamu tidak bisa memilih untuk menjadi siapa dirimu, tapi kamu berhak memilih menjadi siapa dirimu kelak. Aku tidak akan bisa mamahami tentang deskripsi pekerjaan di atas karena aku memilih untuk menjadi seorang pekerja yang mengandalkan penghasilan dari hasil kerja kerasku dan aku tidak bisa memilih untuk dilahirkan di sebuah tempat yang segalanya sudah terpenuhi.
Kalaupun ada yang beranggapan bahwa semuanya itu pilihan, pilihan untuk tidak bekerja berat, pilihan untuk tidak bersahabat dengan para tagihan karena pasti ada jalan lain selain itu semua untuk meraih kebahagiaan, cobalah kalian meminta dilahirkan kembali menjadi aku atau bila tidak mau dengan penuh pengertian akan aku jawab: bekerja dengan segala resikonya jauh lebih baik dan bahagia daripada tidak melakukan apapun.
Bagaimana dengan contoh terakhir? Kalian pasti sepakat bahwa pelaminan pasti memberi kebahagiaan dan kalian juga tidak lupa bersepakat bahwa untuk menuju kesana menjadi sebuah hal yang rumit, suatu hal yang baru akan kita temukan dalam perjalanan hidup kita bersama pasangan. Ketika kalian sudah sampai di ujung sana, kalian pasti bahagia dan semua orang akan berbahagia untuk kalian dan ungkapan kebahagiaan itu bisa dalam bentuk tetesan air mata atau pelukan dan ucapan selamat bahkan hanya sekedar kehadiran orang terdekat.
Aku memang belum mengalaminya, tapi apa yang kulihat seperti itu. Ada juga ketika 2 pemikiran dewasa bertemu dan saling menurunkan ego masing-masing. Bukan ego sepihak, bukan ego yang membuat dirinya berhak mengatur satu sama lain dan bukan sekedar ego yang dapat membuat pasangannya tidak berkembang ke arah positif dan lebih baik. Kemudian, momentum ketika 2 keluarga bertemu adalah hal yang sakral. Bukan menuntut suatu kesiapan terlebih suatu keseriusan tapi yang lebih penting dari itu semua adalah suatu komitmen. Komitmen untuk hidup bersama dan saling menjaga sampai maut memisahkan. Komitmen untuk saling melengkapi hingga kita berada di atas sana nanti. Apakah itu mudah?
Aku tidak ingin menjadi terlalu pintar, kebahagiaan adalah hak masing-masing orang dan bagaimana mereka meraihnya itu adalah suatu hal yang mereka ciptakan sendiri. Bila seseorang merasa bahagia dengan tidak bekerja itu adalah hak mereka, tidak seorang pun berkewajiban untuk mengubah cara berpikirnya. Demikian juga ketika seseorang memutuskan untuk mengajak pasangannya ke pelaminan, tak seorang pun berkewajiban memberitaunya bahwa pasangannya hanya akan membuat dia tidak berkembang dan tak seorang pun juga wajib memberitahu pihak keluarga bahwa ada hal yang salah dalam kehidupan mereka. Kebahagiaan menjadi suatu pilihan bagi masing-masing pihak, apa yang mereka rasakan belum tentu aku dan kalian rasakan, begitu juga sebaliknya. Bahagia itu memang tidak mudah tapi ketika kita mencapainya, kita akan segera sadar bahwa kebahagiaan selalu mendekap kita sepanjang waktu.