Cangkir Merah Jambu
Cangkir merah jambu bergambar wajahmu tersimpan rapi di atas meja kecil yang biasa aku gunakan untuk membaca, menulis, juga bekerja. Cangkir, yang katamu sebagai kado valentine itu, bentuknya sudah tidak lagi secantik dulu, padahal keberadaannya di kamarku hanya berselang dua pekan saja dari kedatangan si meja kerja, yang sampai detik ini terlihat masih sama kokohnya dengan saat pertama kali aku melihatnya di toko mebel langganan kita.
Walau digunakan enam jam sehari dan bergonta-ganti barang di atasnya, ditambah harganya yang relatif murahan – tak lebih dari total biaya kencan kita selama satu bulan -, meja kerjaku ini tampak masih seperti baru. Aku rasa, kamu pun tak akan percaya jika fakta ini kusampaikan: plastik yang membungkus ke empat kakinya bahkan belum aku lepaskan. Luar biasa, kan? Kalau meja ini sekarang aku jual dan mengaku-ngaku barang baru, aku yakin harganya tidak jatuh.
Seandainya saja perjumpaan terakhir kita tertunda sepekan lebih lama, mungkin kamu akan melihat penampakan dua benda yang paling mewarnai hidupku akhir-akhir ini itu saling berdekatan dan tak perpisahkan. Cangkir merah jambu yang label harganya belum kau lepaskan itu selalu berada di sudut kiri meja. Selalu begitu. Sedangkan bagian tengah sampai ke kanan, selain berjejer rapi foto wisuda aku dan kamu, berserakan pula segala jenis barang. Terkadang botol air mineral, piring bekas Indomie, tetapi lebih seringnya handphone yang bisa dikatakan sebagai sahabat baikku sekarang. Tapi sayangnya, kamu belum sempat menyaksikan itu semua.
Kala Februari tiba, sebagaimana juga terjadi pada tahun ini, wajah narsis yang menempel pada dinding cangkir semakin kencang mengulang-ulang kalimat yang sama seperti yang kau ucapkan sebelum kita berpelukan lantas pergi berlawanan arah tanpa menoleh kembali ke belakang, “jangan lupain aku, ya.” Sebagaimana juga yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, aku lantas memaki diri dan mengancam membuang jauh-jauh cangkir merah jambu, namun niat itu tertahan oleh jemari yang menenangkanku dengan berkisah segala tentangmu.
Andai saja aku diciptakan tanpa jemari, pasti aku sudah mati. Ketika kakiku sudah tak tau lagi harus bersembunyi ke mana, ketika mata malah menampilkan penglihatan terbaiknya saat terpejam, dan ketika otak berfungsi sebaliknya: yang hendak dilupakan malah terkunci dalam ingatan, jari-jari tanganku hadir sebagai penyelamat. Alih-alih ikutan mengajakku lari menjauh, mereka malah sebaliknya: dengan jantan menghampiri. Di atas meja yang corak warnanya favorit papa kamu banget ini, jemariku menari-nari mengisahakan semua yang tidak mau dilhat oleh mata, berusaha dilupakan oleh otak, juga hal-hal yang membuat kedua kakiku tunggang-langgang mengajak bersembunyi. Sakit, sih, tiap kali berlagak kuat seperti itu, tapi mau gimana lagi. Justru ini yang paling menenangkan. Mungkin aku sedikit masokis.
Meja kerjaku dan bangkunya yang tidak terlalu empuk namun nyaman diduduki berjam-jam, adalah pasangan yang serasi bagi jari-jariku. Pernah beberapa kali membawa laptop biru yang biasa aku gunakan untuk berkisah tentangmu ke sofa, ke tempat tidur, atau ke cafe-cafe di mall terdekat, tapi hasilnya nihil. Tak ada ketenangan. Tak ada bayangan. Hanya di meja ini jemariku gemulai menari. Begitu juga tiap-tiap kali duduk di hadapan meja ini dengan maksud untuk rebahan barang semenit saja, tak pernah bisa. Alam bawah sadar seakan menuntunku menekan tombol power pada laptop, dan kemudiian mengetik kata demi kata tentangmu, seperti yang aku lakukan sekarang ini. Seperti yang biasa aku lakukan setiap hari sejak peristiwa itu.
Sesekali aku merasa ini hanya rindu yang terlalu. Tapi tidak jarang pula terbersit, jangan-jangan cangkir merah jambu ini adalah akal licikmu, semacam guna-guna, untuk membuatku tak bisa melupakan hari itu. Hari dimana untuk pertama kalinya kita sepaham. Kita sepaham bahwa telah membuang-buang waktu selama lima setengah tahun – dan tentu itu waktu yang terlalu lama – untuk terus bersabar, menahan diri tidak pergi. Hari dimana kita akhirnya sama-sama paham bahwa memang hubungan yang tidak pernah sepaham ini sebaiknya tidak lagi dipahami sebagai cinta yang layak diperjuangkan. Setelah melalui adu mulut yang memeras keringat dan air mata, akhirnya kita sama-sama paham semuanya sudah cukup.
Akan tetapi juga, walau berulang kali aku sangkal, aku kerap menyadari hal ini, terutama selepas mendaraskan doa Rosario di tengah keheningan malam:
Jangan-jangan malah sebaliknya, ternyata cangkir merah jambu pemberianmu itu sebetulnya hanyalah cangkir biasa yang aku pasang alarm bernada tawamu dan kusetel setiap detiknya. Setiap kali alarm cangkir merah jambu berbunyi, tubuhku otomatis terkulai lemas di hadapan laptop yang kini tak pernah berpindah dari meja kerja, kemudian memasrahkan diri mengikuti liukan jemari untuk berkisah apa saja tentangmu.
Sama halnya dengani alarm handphone yang setiap hari kusetel pukul setengah lima pagi karena takut bangun kesiangan, alarm cangkir merah jambu kupasang karena aku takut melupakanmu.
Apa kabarmu di sana, sayang?
#30HariMenulisSuratCinta