Aku dan Jakarta
Aku punya kisah tersendiri tentang Jakarta. Mungkin sekitar dua atau tiga bab, tapi tidak menutup kemungkinan untuk bertambah bab-bab berikutnya. Semuanya berkisah tentang pengalamanku, baik yang terkait langsung mapun tidak langsung, dengan ibu kota yang Bulan Juni ini genap berusia 488 tahun.
Bab pertama adalah kota kelahiran. Aku lahir di Jakarta. Sayangnya aku lupa lahir di rumah sakit mana, nanti ku coba tanyakan kembali ke Bapak-Ibu, tapi yang jelas bukan di rumah sakit bintang lima. Sampai umur tiga tahun aku tinggal di daerah Cijantung. Orangtuaku bilang rumah kami kecil, sumpek, pagarnya reyot, dan, bahkan, mereka sungkan mengajak teman-temannya untuk berkunjung. Waktu aku lahir, banyak teman dan kerabat yang hendak datang melihat, dan rumah kami tidak sanggup menampung semua tamu. Paling-paling yang masuk ke dalam rumah hanya 3-4 orang, sisanya duduk-duduk di luar.
Aku tak dapat banyak bercerita di bab pertama. Pasalnya, tak ada satu kisah pun yang dapat terlacak dalam ingatan. Tidak tentang isi rumah, teman, atau apapun itu. Mungkin saat itu aku masih terlalu cilik untuk merekam kesemuanya dalam ingatan. Bab pertama cuma bercerita bahwa aku adalah anak kelahiran Jakarta.
Bab ke dua adalah kota pendidikan. Walaupun TK-SMP di Bekasi, kemudian tiga tahun SMA di Ambarawa, aku rasa pendidikan yang sesungguhnya baru aku dapatkan di Jakarta. Tidak hanya teori-teori di kelas perkuliahan, tapi juga tentang asmara, ekonomi, sosial-budaya, dll yang kupelajari langsung dalam kehidupan sehari-hari. Sejujurnya agak berat menyebut Jakarta berpengaruh lebih banyak ketimbang asrama dalam hal pendidikan. Tak mungkin ku sangsikan tiga tahun yang begitu luar biasa di asrama, namun yang membuatku yakin menyebut Jakarta sebagai kota pendidikan adalah ketidakteraturan yang mereka (Jakarta) suguhi untukku.
Keteraturan hidup di asrama adalah sebuah tantangan yang sama sekali tidak mudah untuk ditaklukan, akan tetapi, ternyata, ketidakteraturan adalah tantangan yang tersulit. Tidur, bangun, mandi, macet, dan segala macam yang tidak teratur itu mesti dihadapi dengan cerdik dan bijak. Belum lagi urusan asmara yang pastinya tak akan bisa dijadikan nomor dua. Pacaran di Jakarta, mengharuskan kita untuk tidak lagi menjadikan uang dan waktu sebagai pertimbangan utama. Pacar di atas apapun. Uang dan waktu harus pandai-pandai “mengalah”. Apapun kita lakukan yang terpenting pacar tidak marah. Dulu saya begitu.
Menyesuaikan gaya hidup anak-anak (gaul) Jakarta juga bagian dari pendidikan. Bukan cuma soal borosnya uang yang terbuang, tapi juga soal bagaimana cara memaksa diri untuk tidak berlaku apa adanya agar diterima teman-teman. Jam terbang juga membuatku kian terasah kemampuannya untuk menolak secara halus ajakan-ajakan yang tidak menarik minat.
Bab ke tiga adalah kota mencari uang. Bangun sebelum pukul 5 pagi, keluar rumah sebelum pukul 6 pagi, dan tidak akan ada ceritanya bisa sampai di rumah kembali sebelum pukul setengah 7 malam. Itu pun dengan asumsi perjalanan Bekasi-Jakarta atau sebaliknya tidak memakan waktu lebih dari 1.5 jam, dan pulang dari kantor tidak lebih dari setengah 6 sore. Ini rutinitas sepele bagi anak Bekasi yang mencari kehidupan di Jakarta. Kami, anak-anak Bekasi, terbiasa bangun pagi dan pulang setelah matahari terbenam. Oh ya, sejauh ini rekor perjalanan pulang paling lama adalah 4 jam. Kecelakaan di tol dalam kota adalah penyebabnya.
Dari kuliah sampai bekerja, berarti setidaknya saya sudah lima tahun lebih menjalin hubungan dengan Jakarta. Sampai saat ini saya belum bisa mencintai teriknya Jakarta siang hari, begitu juga dengan karnaval kendaraan dengan lampu-lampunya yang mengalahkan rona langit senja. Kecuali saat awal-awal pacaran, selebihnya aku selalu mengutuk kemacetan Jakarta. Sebagai catatan, tol dalam kota tidak macet hanya pada hari Minggu.
Tapi apapun itu, aku belum menemukan kota lain di negeri ini yang bisa menawarkan begitu banyak hal bagi diriku, selain ibu kota ini.
Terima kasih, Jakarta.
Selamat ulang tahun.