Aku dan AADC 2
Setelah tulisan ini sampai pada titik terakhir, semoga tidak ada lagi kisah, tidak ada lagi nama dan drama, yang aku ulang kembali, lagi dan lagi, seperti yang terjadi beberapa tahun belakangan. Cukup sampai di titik itu. Tulisan ini memuat ketakjubanku atas munculnya sebuah film yang merangkum adegan, skenario, dialog, dan penokohan, yang benar-benar mirip dengan salah satu rajutan asmara dalam hidupku. Hanya satu saja, memang, tetapi kalian, teman-temanku, pasti tau, betapa….. Ah, cukup.
AADC 2 seratus persen membikin saya terkaget-kaget. Aku curiga selama ini ada paparazi yang membuntutiku, merekam semua yang terjadi, kemudian seluruh hasil dokumentasi diberikan kepada Mira Lesmana dkk. Akan ada satu perempuan, di ujung sana, yang seucap denganku: Film ini seperti terinspirasi dari kisah kami.
Karena inspirasi, artinya pasti ada penyesuaian di sana-sini. Pasti tidak sama plek. Contohnya, karena ini film, tentu saja yang memerankan adalah artis. Karena artis, pastilah rupawan. Yang rupawan, walaupun artis, belum tentu bisa berdialog dengan luwes. Cristian Sugiono dan Adeknya si Rangga, pada film ini, gaya bicaranya seperti petugas upacara yang sedang membacakan UUD45. Kaku sekali. Lagi pula yang aku bilang mirip, pada film ini, hanyalah kisah asmaranya saja, penokohannya saja, dialog dan gestur tubuhnya saja, selebihnya tidak. Tidak ada Geng Cinta atau Alya yang tiada. Tidak ada luar negeri, apalagi Ibu yang lari.
Aku, Anggara, adalah pedagang balon dan dekorasi, kecil-kecilan, penyuka puisi, dan menulis di satu dua website sebagai saluran hobi diri. Merayu lewat tulisan, surat, dan kejutan-kejutan spontan, adalah keseharianku. Tanyakan saja pada dia, yang tak perlu kusebutkan namanya. Gadis cantik, sensitif, galak, riang, moody, penyuka seni, pintar, berpendidikan tinggi — dari keluarga yang berpendidikan juga, dengan kehidupan finansial lebih dari cukup, jika tak mau dibilang kaya. Dulu, aku sempet berpikir, suatu saat dia akan punya sebuah galery. Butik lebih tepatnya.
Apa perlu aku ceritakan Rangga seperti apa? Penyuka puisi, kamu pasti tau dari AADC yang pertama. Kini dia punya kedai kopi, kecil-kecilan, dan mengisi salah satu kolom di harian terkemuka di Amerika. Dia juga masih suka menulis surat dan memberi kejutan-kejutan yang tak direncanakan.
Sama seperti Rangga dan Cinta yang putus di usia duapuluh tiga, kami pun. Terlalu banyak alasan yang aku benarkan, terlalu banyak kisah yang aku wartakan ke teman-teman. Aku terhenyak teramat sangat ketika mengetahui alasan Rangga meninggalkan Cinta. Dia merasa tidak pantas dan takut membuat Cinta menunggu sesuatu yang tidak pasti. Oh my God, aku seperti sedang curhat melalui film tersebut. Eh, tidak, tidak, ini tidak curhat. Ini aku sedang ditelanjangi bulat-bulat, bahwa ada yang mengetahui kisahku dan menceritakan ke khayalak apa yang sebenarnya aku tutup-tutupi.
Aku bukan Rangga yang sedang studi di luar negeri. Aku juga bukan Rangga yang kuliahnya sedang berantakan. Pada umur tersebut aku sudah bekerja. Sudah berpenghasilan, hanya saja tak seberapa. Tapi aku saat itu memutuskan untuk mencicil mobil selama tiga tahun. Artinya, biaya malam minggu tersedot habis-habisan. Kalau malam minggu saja masih mikir, lantas gimana yang lain? Menikah, misalnya. Tak mungkin aku bisa bertahan demikian.
Tak sepenuhnya tepat, pastinya. Sekali lagi, AADC 2 hanyalah film, yang mungkin, terinspirasi dari kisahku. Terinspirasi saja. Keputusanku untuk mengakhiri semuanya tidak semata-mata pertimbangan eknomi belaka, tapi juga disebabkan enam tujuh hal lain yang selama lima tahun kebersamaan dirasa tidak dapat bertemu pada titik damai lagi. Jauh berbeda, kan? Sudah, iyain saja. Hehe.
Aku tak tampan, tapi sinisnya kurang lebih sama. Seringkali aku tak menyangka mengucap a, menghardik b, lantas berburuksangka c. Lalu secepat kilat dia bereaksi yang sama persis dengan Cinta. Marah sejadi-jadinya, mengancam pergi, lalu kembali, dirayu bak peri, dan senyum-senyum sendiri. Ya, ampun, apakah semua perempuan begini? Tidak, kan. Plis. Cara duduk ketika di mobil pun sama persis. Serong ke kiri, mengoceh tiada henti. Ini sedang marah, pasti.
Di cafe, ketika sedang menjelaskan duduk perkara, tak mau disela, dan… “Yang kamu lakukan ke saya itu.. jahat”, itu template atau memang mendapat ide dari kisahku, sih? Kok bisa sama gitu? Oh ya, satu lagi. Dialog ini: “Maafin aku, ya,” pinta Rangga. “Kamu kebanyakan minta maaf tau ga,” jawab Cinta, dan membikinku tertawa terbahak-bahak. Anjerrr, mirip pisan.
Bukan acting-acting kaku dan drama standar yang bikin aku tidak mau bilang AADC 2 ini adalah film bagus, melainkan harapan yang mereka suguhkan. Film ini membangkitkan rasa yang telah mati bertahun-tahun atas nama sebongkah harapan. Aku kasih tau ya, kalau kalian masih belum sembuh dari luka mantan, lebih baik nonton yang lain saja. Tapi, oh, tidak, tidak, aku tidak mau kembali. Aku tidak akan kembali lagi. Aku tidak mau terjerembab pada luka yang sama. Lebih baik fokus menata diri, meningkatkan kualitas pribadi, agar aku dapat menanggap pesta meriah pada resepsi, serta tak kekurangan susu dan uang sekolah yang pasti akan mahal sekali nanti. Itu yang harus dan sedang aku lakukan.
Duh, gimana sih, jangan-jangan, detik ini, aku sedang menulis kebohongan lagi. Berbohong lagi. Membohongi diri sendiri. Buktinya, kemarin, aku dengan teganya merusak puisi Aan Mansyur yang indah itu menjadi begini
Boleh, ya?
*Sebelum menulis ini, aku nonton AADC yang pertama lagi. Dan, ya, memang, AADC 2 terlalu jauh dari harapan. Tapi… Besok atau lusa, aku mau nonton AADC 2 lagi. Ini film Indonesia terfavoritku. Aku masokis paling bengis sejagat. HAHAHA*